Kamis, 30 Oktober 2014

TOKOH PSIKOLOGI POSITIVE - MARTIN SELIGMAN



Martin Seligman

        Seberapa lamakah kita terus berada dalam garis ketidaknormalan? Jawabannya adalah selalu. Kita terus dihinggapi ketidaknormalan. Ketidaknormalan untuk tidak menyadari bahwa ada kebahagiaan yang lebih luas di dalam kesedihan, ketidaknormalan untuk tidak menyadari bahwa ada ketenangan dalam keletihan kita menjalani kehidupan, ketidaknormalan untuk menentukan pikiran bahwa kita mampu menaklukan masalah dari pada terus merenungi masalah.
Ketidaknormalan termasuk dalam negative pola pikir. Mengapa orang yang mempunyai pola pikir negative dibilang tidak normal? Hal itu selalu dikarenakan kehidupan mempunyai pilihan untuk menjadi normal maupun tidak normal. Selain itu jawaban yang paling tepat adalah apabila kita terus berpikir negative maka berbagai penyakit psikologi dapat hadir dan mencengkram kebahagiaan kehidupan yang harusnya manusia dapatkan.
         Sudah lama psikologi selalu dikaitkan dengan ilmu ketidaknormalan atau patogenis. Sudah lama pula ilmu psikologi selalu dikaitkan dengan penyakit kejiwaan. Apakah demikian? kalau ilmu psikologi ditetapkan pada ranah penyakit psikologi saja bagaimana pula tanggapan Ilmu Psikologi  tentang manusia yang berada dalam kurva normal? Untung sudah pada tahun 2000 ada seorang revolusioner dunia Psikologi yang mengubah paradigma total dunia psikologi yaitu Martin Seligman.
Martin Seligman seorang tokoh yang mampu mengubah cara pandang dan cara berpikir para psikolog dunia. Ia membuat semua psikolog harus berpikir ulang tentang pola pemikir sang psikolog sendiri bukan pasiennya. Ia membuat buku psikologi lebih laris dibaca dan dapat membuat psikologi mempunyai ruang tersendiri di perbagai forum terbuka. Apa yang ia bawa? Ia hanya menembus dunia dengan mengubah Negative Psychology menjadi Positive Psychology. Martin Seligman terkenal dengan nama “Father Of Positive Psychology” dikarenakan pemikirannya tersebut.
                  
Biografi Martin Seligman
           
"Ciri utama pesimis adalah bahwa mereka cenderung percaya bahwa peristiwa-peristiwa buruk akan bertahan lama, akan merusak segala sesuatu yang mereka lakukan, dan kesalahan mereka sendiri. Para optimis, yang dihadapkan dengan pukulan keras yang sama dari dunia ini, berpikir tentang kemalangan dengan cara yang berlawanan Mereka cenderung percaya bahwa kekalahan hanyalah kemunduran sementara atau tantangan, bahwa penyebabnya hanya terbatas pada kasus yang satu ini " - Martin Seligman, Learned Optimism, 1991.
Martin Seligman lahir pada tanggal 12 Agustus 1942 di Albany New York Amerika Serikat. Setelah lulus SMA ia melanjutkan pendidikannya ke Universitas Princeton dan lulus pada tahun 1964. Martin Seligman menikah dengan Mandy McCarthy dan terus bersama hingga kini. Pasangan itu dikaruniai enam orang anak yaitu Amanda, David, Lara, Nicole, Darryl, dan Carly. Seligman mendapatkan Master Ph.D. pada tahun 1967 di Universitas Pennsylvania. Awal karirnya bermula saat ia menjabat asisten professor di Universitas Ithaca, New York. Seligman memulai penelitian dibidang teori tentang pembelajaran ketidakberdayaan, pembelajaran perilaku pesimis, dimana ia memimpin penemuan untuk bidang pengobatan dan pencegahan dari depresi. Dalam penelitiannya di bidang pesimisme dan depresi ia menemukan dan memasukan ide baru yaitu optimisme.
Inilah awal mulanya ia menaruh dan menentukan ranah baru dari Psikologi. Pada tahun 1980 Seligman telah memperoleh jabatan sebagai pemimpin dari program pelatihan klinis di departemen psikologi universitas Pennsylvania sampai 14 tahun. pada rentang waktu yang sama ia berhasil memperoleh penghargaan dari akademi pelatihan  USA sebagai Praktisi Pembaharuan dan pada tahun itu juga ia berhasil menggondol penghargaan dari A.P.A universitas Pennyslavania sebagai tokoh pembahuruan yang memberikan kontribusi untuk pengetahuan dan pelatihan. Selain itu ia juga berhasil menerima penghargaan lain selama karirnya. Pada penelitiannya ia menggabungkan beberapa aspek dalam psikologi yaitu depresi, ketidakberdayaan, perilaku sosial dan depresi pada anak-anak. Berbagai institusi memberikan dukungan untuk seligman dalam penelitiannya dan menulis baik nasional maupun internasional. Selain itu ia berhasil menggondol penghargaan MERIT untuk penelitiannya dalam bidang depresi di tahun 1991.
Pada tahun 1995 ia berkampanye dalam pemilihan presiden A.P.A. (American Psychological Association) setelah itu ia memenangi Pemilihan tersebut pada tahun 1996 dengan perolehan suara terbesar sepanjang sejarah pemilihan tersebut. Tujuan utamanya sebagai presiden A.P.A adalah untuk penggabungan pelatihan dengan ilmu pengetahuan secara bersama-sama sehingga kedua cabang tersebut dapat berkembang. Martin Seligman juga menetapkan Happiness atau kebahagiaan sebagai tujuan yang paling utamanya. Martin Seligman merasa bahwa psikologi membutuhkan jalan alternative untuk pengobatan bukan hanya perilaku negative dan penyakit jiwa.
Presiden Seligman telah mempublikasikan 20 buku dan 200 artikelnya berkaitan dalam psikologi personality serta motivasi. Beberapa bukunya yang terkenal yaitu learned optimism, what your change and what your cant, the optimistic child dan authenthic happiness. Bukunya sendiri telah menjadi bestseller untuk daerah USA dan sekitarnya. Selain itu buku-buku ciptaannya telah terjemahkan ke dalam 16 bahasa serta ia menerima berbagai macam penghargaan untuk karya tulisanya tersebut. Dalam berbagai rentang waktu Martin Seligman telah menjadi tajuk Utama pemberitaan New York Times, Time, Fortune dll. Majalah-majalah popular tersebut mengambil focus utama tentang teori Seligman yang secara langsung terelasi dengan semua orang setiap harinya. Dimana teori Martin Seligman membuat dunia dan orang menjadi lebih bahagia, optimis serta nyaman dalam berbagai keadaan.

Teori Martin Seligman
Depresi menurut Martin Seligman learned hardness yaitu ketika seseorang mengalami pengalaman negative. Hal tersebut seperti ketika dihadapkan dengan stress dan rasa kesakitan yang panjang, mereka akan lebih mungkin mengalami depresi. Depresi akan terjadi setelah suatu peristiwa negative dimana individu menjelaskan peristiwa tersebut dengan atribusi yang menyalahkan diri sendiri. Mereka menyalahkan diri sendiri karena menjadi penyebab peristiwa tersebut. Dengan model penjelasan seperti ini akan menghasilkan ekspetasi bahwa tidak ada perilaku yang dapat dilakukan untuk mengontrol hasil dari peristiwa yang sama dimasa yang akan datang, yang menyebabkan ketidakberdayaan, tidak ada harapan, sikap pasif dan depresif.
 Psikologi Positif ala Seligman berawal dari premis bahwa manusia itu “pada dasarnya happy” dan ilmu psikologi hadir sekedar untuk menguatkan perasaan positif itu. Pertanyaan sekarang adalah: bagaimana kita bisa mengetahui apakah kita orang optimis atau pesimis? Dalam buku ini, Seligman menguraikan jawabannya. Menurut dia, elemen optimisme bisa ditebak dari cara kita menjelaskan kejadian (baik kejadian buruk atau baik) yang menimpa diri kita. Disini kita dikenalkan dengan dua tipe penjelasan.
Tipe penjelasan yang pertama adalah: Permanence. Orang yang pesimis selalu menjelaskan peristiwa buruk yang menimpa mereka sebagai sesuatu yang cenderung permanen (misal: bos saya selalu menyalahkan saya; atau  saya tidak pernah berhasil menjadi entrepreneur; atau  saya tidak akan pernah bisa lulus tes asesmen; dst. ). Kalimat “selalu” atau “tidak pernah” adalah sesuatu yang permanen; dan orang pesimis cenderung suka menggunakan kalimat itu (baik secara terbuka atau dalam hati).
Sebaliknya orang optimis akan memandang kejadian buruk (bad events) yang menimpa mereka sebagai sesuatu yang bersifat temporer (misal: hari ini bos saya lagi bad mood; atau bos saya marah kalau saya terlambat menyelesaikan laporan; atau saya tidak berhasil dalam bisnis karena salah memilih lokasi toko; dst).  Contoh kalimat yang bersifat temporer semacam ini membuat orang bisa melihat kejadian buruk sebagai sesuatu yang bersifat sementara — bukan permanen — dan bisa dihindari di masa mendatang.
Tipe penjelasan yang kedua adalah: Pervasiveness. Orang yang pesimis cenderung memberikan penjelasan yang menggeneralisir (pervasive) atas bad events yang ada di sekeliling mereka (misal: semua bos disini bermain office politics; atau semua peraturan di perusahaan ini tidak fair; semua buku motivasi itu isinya hanya sampah; dan beragam kalimat sejenisnya). Pervasive artinya kita menggeneralisasi akan sesuatu peristiwa atau kejadian.
Sebaliknya, insan yang optimis akan memberikan penjelasan yang bernada spesifik (bukan pervasive dan generalisasi), misalnya seperti: bos di bagian keuangan itu melakukan office politics; ada peraturan di bidang uang lembur yang tidak fair; atau buku motivasi yang sedang saya baca sekarang ini isinya tidak bagus. Penjelasan yang bersifat spesifik — dan bukan generalisasi — membuat kita bisa melihat bahwa sesungguhnya tidak semua dimensi dalam suatu kejadian/peristiwa itu merugikan. Pasti masih ada celah positif di balik beragam dimensi lainnya.
Menurut Prof. Seligman, ada tiga cara untuk bahagia:
1. Have a Pleasant Life (life of enjoyment):
    Milikilah hidup yg menyenangkan, dapatkan kenikmatan sebanyak mungkin. ini mungkin cara yg ditempuh oleh kaum hedonis. Tapi jika ini cara yang kita tempuh, hati-hati dengan jebakan hedonic treadmill (= semakin kita mencari kenikmatan, semakin kita sulit dipuaskan) dan jebakan habituation (kebosanan karena terlalu banyak, misalnya; makan es krim pada jilatan pertama sangat nikmat, tapi pada jilatan keduapuluh, kita jadi pengin muntah). tapi pada takaran yg pas, cara ini bisa sangat membahagiakan.
2.   Have a Good Life (life of engagement):
      Dalam bahasa aristoteles disebut eudaimonia, terlibatlah dalam pekerjaan, hubungan atau kegiatan yg membuat kita mengalami "flow". merasa terserap dalam kegiatan itu, seakan-akan waktu berhenti bergerak, kita bahkan tidak merasakan apapun, karena sangat "khusyu'". fenomena ini diteliti secara khusus oleh rekan Seligman, Mihaly Csikzentmihalyi. dan memberikan 7 ciri-ciri kita dalam kondisi flow:
a)         Sepenuhnya terlibat pada apa yg kita lakukan (focused, concentrated, khusyu').
b)         Merasakan "a senses of ecstasy" (seperti berada di luar realitas sehari-hari).
c)         Memiliki "kejernihan yang luar biasa" (benar-benar memahami apa yang harus dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya).
d)       Menyadari bahwa tantangan pekerjaan yang sedang ia hadapi benar-benar dapat ia atasi (bahwa skill yang kita miliki cukup memadai untuk mengerjakan tugas tersebut).
e)     Merasakan "kedamaian hati" ( tidak ada kekhawatiran dan merasakan diri kita sedang bertumbuh melampaui ego kita sendiri).
f)       Terserap oleh waktu (karena khusyu' mengerjakan dan benar-benar terfokus pada "saat ini dan disini", waktu seakan-akan berlalu tanpa terasa).
g)      Motivasi Intrinsik (dimana merasakan "flow" itu sendiri sudah merupakan hadiah yang cukup berharga untuk melakukan pekerjaan itu).
3. Have A Meaningful Life (life of Contribution) :
           Milikilah semangat melayani, berkontribusi dan bermanfaat untuk orang lain atau mahluk lain. Menjadi bagian dari organisasi atau kelompok, tradisi atau gerakan tertentu. Merasa hidup kita memiliki "makna" yang lebih tinggi dan lebih abadi dibanding diri kita sendiri.

Psikologi Positif adalah sebuah gerakan baru dalam ilmu psikologi yang lebih menekankan pada eksplorasi potensi-potensi produktif dalam diri manusia. Berbeda dengan Behaviorisme dan Psikoanalisis misalnya, yang cenderung pesimis melihat takdir manusia. Kedua mazhab psikologi yang sampai sekarang masih dominan ini terlalu berburuk sangka pada manusia. Paradigma keilmuan yang dibangunnya terlalu bersifat klinis, dan kosekuensinya, tugas ilmu psikologi hanya memahami gangguan-gangguan mental yang diderita manusia, bukan berusaha membantu manusia untuk mengembangkan kemampuannya secara optimal. Menurut Martin Seligman (2002), pendiri gerakan psikologi positif, kedua mazhab ini telah mewariskan ilmu psikologi yang bersifat patogenis.
Jika psikologi patogenis sibuk mempelajari kelemahan dan kerentanan manusia kemudian berusaha memperbaikinya, psikologi positif memusatkan perhatian pada kelebihan dan kekuatan manusia. Alih-alih berusaha memperbaiki apa yang rusak dalam diri manusia, psikologi positif mencoba membangun hidup di atas apa yang terbaik dari diri manusia. Psikologi positif mengidentifikasi kekuatan dalam diri manusia untuk mencapai kesehatan dan kebahagiaan. Bukan hanya terhindar dari penyakit, tetapi juga hidup bahagia. Bukan hanya sekedar hidup (living), tetapi juga bagaimana mengembangkannya (thriving).
Pada saat pelantikannya sebagai Presiden American Psychological Association tahun 1997, Seligman menyampaikan sebuah pidato yang dianggap sebagai tonggak lahirnya gerakan psikologi positif di dunia. Dalam pidatonya, ia menyebutkan bahwa sebelum Perang Dunia II, sebenarnya ada tiga misi utama psikologi: menyembuhkan penyakit mental, membuat hidup lebih bahagia, dan mengidentifikasi dan membina bakat mulia dan kegeniusan. Setelah Perang Dunia II, dua misi yang terakhir diabaikan sama sekali. Berdasarkan tiga misi inilah, ditegakkan tiga prinsip psikologi positif : (1) studi tentang emosi positif (optimisme, kebahagiaan, kasih sayang, dsb.), (2) studi tentang sifat-sifat positif (kebajikan, kreativitas, kegigihan, keberanian, cinta, dsb.), dan (3) studi tentang lembaga-lembaga positif yang mendukung kebajikan.         
Bila psikologi positif dianggap sebagai “science of happiness” seperti diungkap Tal Ben Shahar (dalam Mabe, 2008), maka kritik yang pernah muncul ialah bahwa dengan adanya gelombang psikologi positif, terdapat “tekanan kultural” terhadap setiap orang untuk menjadi bahagia sepanjang masa yang akhirnya membuat orang senantiasa mengkaji tingkat kebahagiaannya dan selanjutnya menginginkan hal yang lebih. Kebahagiaan menjadi “obsesi” yang hanya membuat orang lebih tidak berbahagia (Wilson dalam Megan, 2008). Kendati demikian, menurut Shahar (Megan, 2008), ahli-ahli psikologi positif tidak hanya berbicara mengenai kebahagiaan dan juga tidak menafikan aspek negatif dari kehidupan (sebagaimana terdapat dalam Pollyannaisme), melainkan:
“Mereka berbicara mengenai keterlibatan (engagement), mengenai perasaan yang dalam akan makna, sebuah hidup yang bertujuan. Hal-hal ini bersama dengan kenikmatan (pleasure) merupakan bagian bersama dari sebuah kehidupan bahagia. Tidak ada jalan pintas, tidak ada lima langkah mudah untuk menuju kebahagiaan.”
Berdasarkan kalimat Shahar, guru besar psikologi di Universitas Harvard, di atas jelas bahwa terdapat perbedaan kandungan isi dan metodologi antara “psikologi positif” yang ditawarkan oleh kebanyakan psikologi di pasar dengan boosterism (pemercepatan dengan upaya ekstra) peraihan kebahagiaannya, yang boleh jadi bersifat ilmiah semu (pseudoscientific) bagi ilmu psikologi serta psikologi positif yang dikembangkan oleh para ilmuwan (scientific psychology). Menurut dasar ontologis scientific psychology, jelas adanya bahwa titik berangkat psikologi justru ketidakbahagiaan (Takwin, 2009). Senada dengan Takwin, De Rubeis (2000) jauh hari sebelumnya telah mengungkap bahwa “Psikologi negatif (negative psychology) merupakan bagian yang tak terpisahkan dari psikologi positif.” Lebih jelas, Takwin (2009) menjelaskan:
“Psikologi tidak bisa memulai dari pendefinisian kebahagiaan karena kebahagiaan sulit dikenali. Titik berangkat psikologi adalah ketidakbahagiaan jelas adanya. Tetapi, kebahagiaan tidak dapat diartikan sebagai tidak adanya ketidakbahagiaan. Kebahagiaan bukan juga sekadar terselesaikannya masalah seseorang. Kebahagiaan selalu merupakan situasi jiwa yang baru, situasi yang mengandung kebaruan yang dapat menghubungkan jiwa dan kebahagiaan.
Secara umum, situasi psikologis selalu merupakan sesuatu yang dikenali sebagai hubungan antara disposisi chaotic dari jiwa (mencakup perasaan, tingkahlaku, dan pikiran) dan apa yang dikenali sebagai kebahagiaan. Dalam konteks ini, termasuk juga menghubungkan apa yang tadinya dianggap kebahagiaan namun dalam kenyataannya tidak menghasilkan kebahagiaan,  dengan apa yang mungkin menghasilkan kebahagiaan Psikologi mencoba mengajukan proposisi baru yang menata keadaan chaotic dari jiwa sehingga menghasilkan kebahagiaan.”
Bila membaca hal di atas, kita dapat memadankannya dengan basis pernyataan Seligman (1999) ketika membicarakan pemberdayaan komunitas sebagai salah satu tonggak psikologi positif, bahwa peradaban bukan hanya berarti tiadanya ketidakberadaban (civility is not just the absence of incivility), bahwa peradaban yang terbangun akan terus terbangun dan meluas. Hal ini pada hakikatnya sesuai dengan perjalanan penelitian Martin Seligman (2002) dari ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness), upaya terapi terhadapnya, yang menuju kepada optimisme atau kebahagiaan yang dipelajari (learned optimism atau learned happiness) dan upaya promosinya.

Terdapat hubungan paradoksal dan dialektis dalam pengalaman manusia antara learned helplessness dan learned optimism. Patut dicatat dalam kaitan ini bahwa Seligman mengakui, “Saya terlahir sebagai seorang pesimis dan saya pikir hanya para pesimis yang dapat mengerjakan karya serius mengenai optimisme” (Scherer, 2008). Tulisan lain dalam bahasa Indonesia yang meskipun berbasis pengalaman empiris sehari-hari dan bukannpenelitian sistematis, namun mampu menggambarkan secara memadain bahwa “psikologi negatif” tidak selalu negatif hasilnya adalah buku “Be Negative” karya Naomi Susan.
Kritik lain terhadap psikologi positif adalah pertanyaan apakah terdapat kongruensi antara aplikasi psikologi positif dalam tataran individual dan dalam tataran kelompok (kelompok bisnis, sekolah, komunitas, dan sebagainya). Untuk jelasnya, mari kita cermati riset yang dilakukan oleh departemen psikologi Northwestern University (2008). Riset ini meneliti bagaimana pengaruh penaikan harga diri (self-esteem) melalui pengkontemplasian pencapaian seseorang atau penerimaan umpan balik positif dari orang lain terhadap dorongan menyelamatkan mukanya sendiri (face-saving) untuk membenarkan dan tetap menjalankan keputusankeputusan yang hasilnya sesungguhnya diragukan efektivitasnya. Hasil penelitian itu antara lain sebagai berikut:
“Dalam sebuah penelitian, para partisipan yang merupakan para manajer senior dari sebuah bank investasi yang besar menerima umpan balik positif yang menekankan betapa rasionalnya mereka. Alih-alih berakibat positif, umpan balik ini juga secara erat berkaitan dengan keputusan yang mereka buat ketika menerima seorang karyawan yang kemudian diketahui memiliki riwayat kinerja yang tidak baik. Para manajer senior tersebut secara membabi buta mengomitmenkan diri mereka berulang-ulang dengan keputusan awal mereka untuk mempekerjakan orang tersebut, serta merekomendasikan untuk menyediakan waktu dan menghabiskan uang tambahan untuk melatih orang ini, ketimbang mengakui keputusan buruk mereka serta memotong rantai efek keputusan mereka yang keliru.”
Menurut Seligman, Steen, Park, dan Peterson (2005), psikologi positif merupakan istilah yang memayungi studi-studi terhadap emosi-emosi positif, sifat-sifat dasar positif, dan pemberdayaan institusi/komunitas. Dalam pembahasaan yang lain, psikologi positif mempelajari kondisi-kondisi dan proses-proses yang berkontribusi terhadap penyuburan atau pemfungsian individu, kelompok, dan lembaga secara optimal (Gable & Haidt, 2005).
Psikologi positif tidak menyangkal nilai-nilai dari penelitian-penelitian yang sudah ada tentang psikopatologi, namun melampaui itu, berfokus pada kemungkinan-kemungkinan untuk meningkatkan keberfungsian manusia dengan berupaya membangun kekuatan individual daripada berfokus pada kelemahannya (Garr, 2007). Kekuatan-kekuatan ini dideskripsikan dalam peristilahan pendidikan karakter (character education) atau keutamaan-keutamaan (virtues) (Peterson & Seligman, 2004).
Sementara Martin Seligman, sang pendiri psikologi positif, berpendapat bahwa psikologi positif dapat dengan cukup mudah ditransfer kedalam kehidupan korporat (Scherer, 2008); apakah hasil penelitian di atas berimplikasi bahwa dengan memaksimalkan harga diri (dan hal-hal positif lain, seperti optimisme, kepercayaan, engagement, dan sebagainya) tiap-tiap orang dalam kelompok atau organisasi, psikologi positif justru membawa organisasi kedalam bahaya? Ataukah, kita harus merujuk kembali pada hukum psikologi Gestalt bahwa keseluruhan atau totalitas (dalam hal ini: kelompok, organisasi) bukanlah penjumlahan dari bagian-bagian (individuindividu) totalitas itu? Sebagaimana diungkap oleh Irwanto (2002), dalam totalitas terdapat unsur baru, struktur dan arti yang ditentukan oleh hubungan antar bagian dalam totalitas tersebut. Transfer psikologi positif dari level individual ke level social dan institusional memang nampak memerlukan penyelidikan lebih lanjut.

Psikologi yang berkembang dewasa ini dapat disebut sebagai psikologi negatif, karena berkutat pada sisi-negatif manusia. Psikologi, karena itu, paling banter hanya menawarkan terapi atas masalah-masalah kejiwaan. Padahal, manusia tidak hanya ingin terbebas dari problem, tetapi juga mendambakan kebahagiaan. Adakah psikologi jenis lain yang menjawab harapan ini?
Martin Seligman, seorang psikolog pakar studi optimisme, memelopori revolusi dalam bidang psikologi melalui gerakan Psikologi Positif. Berlawanan dengan psikologi negatif, sains baru ini mengarahkan perhatiannya pada sisi-positif manusia, mengembangkan potensi-potensi kekuatan dan kebajikan sehingga membuahkan kebahagiaan yang autentik dan berkelanjutan.
Dalam buku revolusioner yang ditulis dengan gaya populer ini, Seligman memperkenalkan prinsip-prinsip dasar Psikologi Positif, ciri-ciri kebahagiaan yang autentik, dan faktor-faktor pendukungnya. Dengan metode-metode praktis yang dirumuskannya, Anda dapat memanfatkan temuan-temuan terbaru dari sains kebahagiaan untuk mengukur dan mengembangkan kebahagiaan dalam hidup Anda.
Psikologi positif adalah cabang baru psikologi yang bertujuan diringkas pada tahun 2000 oleh Martin Seligman dan Mihaly Csikszentmihalyi "Kami percaya bahwa psikologi positif akan muncul fungsi manusia yang mencapai pemahaman ilmiah dan efektif untuk membangun berkembang dalam individu, keluarga, dan masyarakat. Psikologi positif mencari" untuk mencari dan membina jenius dan bakat ", dan" untuk membuat kehidupan normal lebih memuaskan ", tidak hanya untuk mengobati penyakit mental. Pendekatan ini telah menciptakan banyak menarik di sekitar subjek, dan pada tahun 2006 studi di Universitas Harvard yang berjudul "Psikologi Positif" menjadi kursus semester yang paling populer semester.
Beberapa Psikolog Humanistik, seperti Abraham Maslow, Carl Rogers, dan Erick Fromm mengembangkan teori dan praktek yang melibatkan kebahagiaan manusia. Baru-baru ini teori yang dikembangkan oleh para psikolog humanistik ini telah menemukan dukungan empiris dari studi oleh para psikolog positif, meskipun penelitian ini telah banyak dikritik. Teori ini lebih berfokus pada kepuasan dengan sumber filosofismenya keagamaan dan psikologi humanistic.
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa dan perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dan selama ini yang kita ketahui, bidang psikologi selalu menghadapi hal-hal yang berhubungan dengan jiwa seseorang, misalnya penyebab orang mengalami gangguan jiwa, mengapa orang bisa mengalami stress, dan lain-lain. Yang selalu berhubungan dengan sisi negatif seseorang.
Tetapi selama ini kita mengenal yang nama nya psikologi positif, yaitu lebih menekankan apa yang benar/baik pada seseorang, dibandingkan apa yang salah/buruk. Sebelumnya, psikologi biasanya selalu menekankan apa yang salah pada manusia, seperti soalan stress, depresi, kegelisahan dan lain lain.
Itulah sebabnya, ada aliran baru dalam dunia psikologi, dan menyebutnya sebagai psikologi positif. Menurut Seligman, “Psikologi bukan hanya studi tentang kelemahan dan kerusakan; psikologi juga adalah studi tentang kekuatan dan kebajikan. Pengobatan bukan hanya memperbaiki yang rusak; pengobatan juga berarti mengembangkan apa yang terbaik yang ada dalam diri kita.” Misi Seligman ialah mengubah paradigma psikologi, dari psikologi patogenis yang hanya berkutat pada kekurangan manusia ke psikologi positif, yang berfokus pada kelebihan manusia.
Berfokus terhadap penanganan berbagai masalah bukanlah hal baru dalam dunia psikologi. Sejak dulu, manusia selalu dipandang sebagai makhluk yang bermasalah. Sejak awal mula munculnya aliran psikologi (mashab behaviorisme), manusia dipandang sebagai suatu mekanik yang penuh dengan banyak masalah. Mashab ini kemudian melihat masalah yang ada pada manusia, belum lagi dengan mashab psikoanalisis yang melihat kenangan masa lalu sebagai penyebab penderitaan yang ada saat ini. Apapun itu, psikologi yang berkembang selama bertahun-tahun lamanya lebih memedulikan kekurangan ketimbang kelebihan yang ada pada manusia. Itulah sebabnya psikologi yang berkutat pada masalah sering disebut sebagai psikologi negatif.
Psikologi positif berhubungan dengan penggalian emosi positif, seperti bahagia, kebaikan, humor, cinta, optimis, baik hati, dan sebagainya. Sebelumnya, psikologi lebih banyak membahas hal-hal patologis dan gangguan-gangguan jiwa juga emosi negatif, seperti marah, benci, jijik, cemburu dan sebagainya. Dalam Richard S. Lazarus, disebutkan bahwa emosi positif biasanya diabaikan atau tidak ditekankan, hal ini tidak jelas kenapa demikian. Kemungkinan besar hal ini karena emosi negatif jauh lebih tampak dan memiliki pengaruh yang kuat pada adaptasi dan rasa nyaman yang subyektif dibanding melakukan emosi positif. Contohnya, pada saat kita marah, maka ada rasa nyaman yang terlampiaskan, rasa superior, dan sebagainya. Ada suatu penelitian mengatakan bahwa marah adalah emosi yang dipelajari, sehingga dia akan cenderung untuk mengulangi hal yang dirasa nyaman.
Psikologi positif tidak bermaksud mengganti atau menghilangkan penderitaan, kelemahan atau gangguan (jiwa), tapi lebih kepada menambah khasanah atau memperkaya, serta untuk memahami secara ilmiah tentang pengalaman manusia.

Jadi intinya saat ini kita sudah mengenal yang nama nya psikologi positif, ada baiknya kita merubah diri kita sedikit demi sedikit. Sebisa mungkin kita lebih mengeluarkan emosi positif kita dibandingkan emosi negatif kita. Maka hasilnya pun akan positif.








DAFTAR PUSTAKA

2 komentar:

  1. Terimakasih,
    Sangat membantu sekali dalam memahami psikologi positif

    BalasHapus
  2. Trimkasih tulisan ini membangun saya menyelesaikan skripsi saya tentang emosi positif dalam kehidupan keluarga

    BalasHapus