Martin
Seligman
Seberapa lamakah kita
terus berada dalam garis ketidaknormalan? Jawabannya adalah selalu. Kita terus
dihinggapi ketidaknormalan. Ketidaknormalan untuk tidak menyadari bahwa ada
kebahagiaan yang lebih luas di dalam kesedihan, ketidaknormalan untuk tidak
menyadari bahwa ada ketenangan dalam keletihan kita menjalani kehidupan,
ketidaknormalan untuk menentukan pikiran bahwa kita mampu menaklukan masalah
dari pada terus merenungi masalah.
Ketidaknormalan
termasuk dalam negative pola pikir. Mengapa orang yang mempunyai pola pikir
negative dibilang tidak normal? Hal itu selalu dikarenakan kehidupan mempunyai
pilihan untuk menjadi normal maupun tidak normal. Selain itu jawaban yang
paling tepat adalah apabila kita terus berpikir negative maka berbagai penyakit
psikologi dapat hadir dan mencengkram kebahagiaan kehidupan yang harusnya
manusia dapatkan.
Sudah lama psikologi
selalu dikaitkan dengan ilmu ketidaknormalan atau patogenis. Sudah lama pula
ilmu psikologi selalu dikaitkan dengan penyakit kejiwaan. Apakah demikian?
kalau ilmu psikologi ditetapkan pada ranah penyakit psikologi saja bagaimana
pula tanggapan Ilmu Psikologi tentang
manusia yang berada dalam kurva normal? Untung sudah pada tahun 2000 ada
seorang revolusioner dunia Psikologi yang mengubah paradigma total dunia
psikologi yaitu Martin Seligman.
Martin Seligman seorang
tokoh yang mampu mengubah cara pandang dan cara berpikir para psikolog dunia.
Ia membuat semua psikolog harus berpikir ulang tentang pola pemikir sang
psikolog sendiri bukan pasiennya. Ia membuat buku psikologi lebih laris dibaca
dan dapat membuat psikologi mempunyai ruang tersendiri di perbagai forum
terbuka. Apa yang ia bawa? Ia hanya menembus dunia dengan mengubah Negative
Psychology menjadi Positive Psychology. Martin Seligman terkenal dengan nama
“Father Of Positive Psychology” dikarenakan pemikirannya tersebut.
Biografi
Martin Seligman
"Ciri
utama pesimis adalah bahwa mereka cenderung percaya bahwa peristiwa-peristiwa
buruk akan bertahan lama, akan merusak segala sesuatu yang mereka lakukan, dan
kesalahan mereka sendiri. Para optimis, yang dihadapkan dengan pukulan keras
yang sama dari dunia ini, berpikir tentang kemalangan dengan cara yang
berlawanan Mereka cenderung percaya bahwa kekalahan hanyalah kemunduran
sementara atau tantangan, bahwa penyebabnya hanya terbatas pada kasus yang satu
ini " - Martin Seligman, Learned Optimism, 1991.
Martin
Seligman lahir pada tanggal 12 Agustus 1942 di Albany New York Amerika Serikat.
Setelah lulus SMA ia melanjutkan pendidikannya ke Universitas Princeton dan
lulus pada tahun 1964. Martin Seligman menikah dengan Mandy McCarthy dan terus
bersama hingga kini. Pasangan itu dikaruniai enam orang anak yaitu Amanda,
David, Lara, Nicole, Darryl, dan Carly. Seligman mendapatkan Master Ph.D. pada
tahun 1967 di Universitas Pennsylvania. Awal karirnya bermula saat ia menjabat
asisten professor di Universitas Ithaca, New York. Seligman memulai penelitian
dibidang teori tentang pembelajaran ketidakberdayaan, pembelajaran perilaku
pesimis, dimana ia memimpin penemuan untuk bidang pengobatan dan pencegahan
dari depresi. Dalam penelitiannya di bidang pesimisme dan depresi ia menemukan
dan memasukan ide baru yaitu optimisme.
Inilah
awal mulanya ia menaruh dan menentukan ranah baru dari Psikologi. Pada tahun
1980 Seligman telah memperoleh jabatan sebagai pemimpin dari program pelatihan
klinis di departemen psikologi universitas Pennsylvania sampai 14 tahun. pada
rentang waktu yang sama ia berhasil memperoleh penghargaan dari akademi
pelatihan USA sebagai Praktisi Pembaharuan
dan pada tahun itu juga ia berhasil menggondol penghargaan dari A.P.A
universitas Pennyslavania sebagai tokoh pembahuruan yang memberikan kontribusi
untuk pengetahuan dan pelatihan. Selain itu ia juga berhasil menerima
penghargaan lain selama karirnya. Pada penelitiannya ia menggabungkan beberapa
aspek dalam psikologi yaitu depresi, ketidakberdayaan, perilaku sosial dan
depresi pada anak-anak. Berbagai institusi memberikan dukungan untuk seligman
dalam penelitiannya dan menulis baik nasional maupun internasional. Selain itu
ia berhasil menggondol penghargaan MERIT untuk penelitiannya dalam bidang
depresi di tahun 1991.
Pada
tahun 1995 ia berkampanye dalam pemilihan presiden A.P.A. (American
Psychological Association) setelah itu ia memenangi Pemilihan tersebut pada
tahun 1996 dengan perolehan suara terbesar sepanjang sejarah pemilihan
tersebut. Tujuan utamanya sebagai presiden A.P.A adalah untuk penggabungan
pelatihan dengan ilmu pengetahuan secara bersama-sama sehingga kedua cabang
tersebut dapat berkembang. Martin Seligman juga menetapkan Happiness atau
kebahagiaan sebagai tujuan yang paling utamanya. Martin Seligman merasa bahwa
psikologi membutuhkan jalan alternative untuk pengobatan bukan hanya perilaku
negative dan penyakit jiwa.
Presiden
Seligman telah mempublikasikan 20 buku dan 200 artikelnya berkaitan dalam
psikologi personality serta motivasi. Beberapa bukunya yang terkenal yaitu
learned optimism, what your change and what your cant, the optimistic child dan
authenthic happiness. Bukunya sendiri telah menjadi bestseller untuk daerah USA
dan sekitarnya. Selain itu buku-buku ciptaannya telah terjemahkan ke dalam 16
bahasa serta ia menerima berbagai macam penghargaan untuk karya tulisanya
tersebut. Dalam berbagai rentang waktu Martin Seligman telah menjadi tajuk
Utama pemberitaan New York Times, Time, Fortune dll. Majalah-majalah popular
tersebut mengambil focus utama tentang teori Seligman yang secara langsung
terelasi dengan semua orang setiap harinya. Dimana teori Martin Seligman
membuat dunia dan orang menjadi lebih bahagia, optimis serta nyaman dalam
berbagai keadaan.
Teori
Martin Seligman
Depresi
menurut Martin Seligman learned hardness yaitu ketika seseorang mengalami
pengalaman negative. Hal tersebut seperti ketika dihadapkan dengan stress dan
rasa kesakitan yang panjang, mereka akan lebih mungkin mengalami depresi.
Depresi akan terjadi setelah suatu peristiwa negative dimana individu
menjelaskan peristiwa tersebut dengan atribusi yang menyalahkan diri sendiri.
Mereka menyalahkan diri sendiri karena menjadi penyebab peristiwa tersebut.
Dengan model penjelasan seperti ini akan menghasilkan ekspetasi bahwa tidak ada
perilaku yang dapat dilakukan untuk mengontrol hasil dari peristiwa yang sama
dimasa yang akan datang, yang menyebabkan ketidakberdayaan, tidak ada harapan,
sikap pasif dan depresif.
Psikologi Positif ala Seligman berawal dari
premis bahwa manusia itu “pada dasarnya happy” dan ilmu psikologi hadir sekedar
untuk menguatkan perasaan positif itu. Pertanyaan sekarang adalah: bagaimana
kita bisa mengetahui apakah kita orang optimis atau pesimis? Dalam buku ini,
Seligman menguraikan jawabannya. Menurut dia, elemen optimisme bisa ditebak
dari cara kita menjelaskan kejadian (baik kejadian buruk atau baik) yang
menimpa diri kita. Disini kita dikenalkan dengan dua tipe penjelasan.
Tipe
penjelasan yang pertama adalah: Permanence. Orang yang pesimis selalu
menjelaskan peristiwa buruk yang menimpa mereka sebagai sesuatu yang cenderung
permanen (misal: bos saya selalu menyalahkan saya; atau saya tidak pernah berhasil menjadi
entrepreneur; atau saya tidak akan
pernah bisa lulus tes asesmen; dst. ). Kalimat “selalu” atau “tidak pernah”
adalah sesuatu yang permanen; dan orang pesimis cenderung suka menggunakan
kalimat itu (baik secara terbuka atau dalam hati).
Sebaliknya
orang optimis akan memandang kejadian buruk (bad events) yang menimpa mereka
sebagai sesuatu yang bersifat temporer (misal: hari ini bos saya lagi bad mood;
atau bos saya marah kalau saya terlambat menyelesaikan laporan; atau saya tidak
berhasil dalam bisnis karena salah memilih lokasi toko; dst). Contoh kalimat yang bersifat temporer semacam
ini membuat orang bisa melihat kejadian buruk sebagai sesuatu yang bersifat
sementara — bukan permanen — dan bisa dihindari di masa mendatang.
Tipe
penjelasan yang kedua adalah: Pervasiveness. Orang yang pesimis cenderung
memberikan penjelasan yang menggeneralisir (pervasive) atas bad events yang ada
di sekeliling mereka (misal: semua bos disini bermain office politics; atau
semua peraturan di perusahaan ini tidak fair; semua buku motivasi itu isinya
hanya sampah; dan beragam kalimat sejenisnya). Pervasive artinya kita
menggeneralisasi akan sesuatu peristiwa atau kejadian.
Sebaliknya,
insan yang optimis akan memberikan penjelasan yang bernada spesifik (bukan
pervasive dan generalisasi), misalnya seperti: bos di bagian keuangan itu
melakukan office politics; ada peraturan di bidang uang lembur yang tidak fair;
atau buku motivasi yang sedang saya baca sekarang ini isinya tidak bagus. Penjelasan
yang bersifat spesifik — dan bukan generalisasi — membuat kita bisa melihat
bahwa sesungguhnya tidak semua dimensi dalam suatu kejadian/peristiwa itu
merugikan. Pasti masih ada celah positif di balik beragam dimensi lainnya.
Menurut Prof. Seligman,
ada tiga cara untuk bahagia:
1. Have a Pleasant Life
(life of enjoyment):
Milikilah hidup yg menyenangkan, dapatkan
kenikmatan sebanyak mungkin. ini mungkin cara yg ditempuh oleh kaum hedonis. Tapi
jika ini cara yang kita tempuh, hati-hati dengan jebakan hedonic treadmill (=
semakin kita mencari kenikmatan, semakin kita sulit dipuaskan) dan jebakan
habituation (kebosanan karena terlalu banyak, misalnya; makan es krim pada
jilatan pertama sangat nikmat, tapi pada jilatan keduapuluh, kita jadi pengin muntah).
tapi pada takaran yg pas, cara ini bisa sangat membahagiakan.
2. Have a Good Life (life of engagement):
Dalam bahasa aristoteles disebut
eudaimonia, terlibatlah dalam pekerjaan, hubungan atau kegiatan yg membuat kita
mengalami "flow". merasa terserap dalam kegiatan itu, seakan-akan
waktu berhenti bergerak, kita bahkan tidak merasakan apapun, karena sangat
"khusyu'". fenomena ini diteliti secara khusus oleh rekan Seligman,
Mihaly Csikzentmihalyi. dan memberikan 7 ciri-ciri kita dalam kondisi flow:
a) Sepenuhnya terlibat pada apa yg kita
lakukan (focused, concentrated, khusyu').
b) Merasakan "a senses of
ecstasy" (seperti berada di luar realitas sehari-hari).
c) Memiliki "kejernihan yang luar
biasa" (benar-benar memahami apa yang harus dikerjakan dan bagaimana
mengerjakannya).
d) Menyadari bahwa tantangan pekerjaan
yang sedang ia hadapi benar-benar dapat ia atasi (bahwa skill yang kita miliki
cukup memadai untuk mengerjakan tugas tersebut).
e) Merasakan "kedamaian hati" (
tidak ada kekhawatiran dan merasakan diri kita sedang bertumbuh melampaui ego
kita sendiri).
f) Terserap oleh waktu (karena khusyu'
mengerjakan dan benar-benar terfokus pada "saat ini dan disini",
waktu seakan-akan berlalu tanpa terasa).
g) Motivasi Intrinsik (dimana merasakan
"flow" itu sendiri sudah merupakan hadiah yang cukup berharga untuk
melakukan pekerjaan itu).
3. Have A Meaningful
Life (life of Contribution) :
Milikilah semangat melayani,
berkontribusi dan bermanfaat untuk orang lain atau mahluk lain. Menjadi bagian
dari organisasi atau kelompok, tradisi atau gerakan tertentu. Merasa hidup kita
memiliki "makna" yang lebih tinggi dan lebih abadi dibanding diri
kita sendiri.
Psikologi
Positif adalah sebuah gerakan baru dalam ilmu psikologi yang lebih menekankan
pada eksplorasi potensi-potensi produktif dalam diri manusia. Berbeda dengan
Behaviorisme dan Psikoanalisis misalnya, yang cenderung pesimis melihat takdir
manusia. Kedua mazhab psikologi yang sampai sekarang masih dominan ini terlalu
berburuk sangka pada manusia. Paradigma keilmuan yang dibangunnya terlalu
bersifat klinis, dan kosekuensinya, tugas ilmu psikologi hanya memahami gangguan-gangguan
mental yang diderita manusia, bukan berusaha membantu manusia untuk
mengembangkan kemampuannya secara optimal. Menurut Martin Seligman (2002),
pendiri gerakan psikologi positif, kedua mazhab ini telah mewariskan ilmu
psikologi yang bersifat patogenis.
Jika
psikologi patogenis sibuk mempelajari kelemahan dan kerentanan manusia kemudian
berusaha memperbaikinya, psikologi positif memusatkan perhatian pada kelebihan
dan kekuatan manusia. Alih-alih berusaha memperbaiki apa yang rusak dalam diri
manusia, psikologi positif mencoba membangun hidup di atas apa yang terbaik
dari diri manusia. Psikologi positif mengidentifikasi kekuatan dalam diri
manusia untuk mencapai kesehatan dan kebahagiaan. Bukan hanya terhindar dari
penyakit, tetapi juga hidup bahagia. Bukan hanya sekedar hidup (living), tetapi
juga bagaimana mengembangkannya (thriving).
Pada
saat pelantikannya sebagai Presiden American Psychological Association tahun
1997, Seligman menyampaikan sebuah pidato yang dianggap sebagai tonggak
lahirnya gerakan psikologi positif di dunia. Dalam pidatonya, ia menyebutkan
bahwa sebelum Perang Dunia II, sebenarnya ada tiga misi utama psikologi:
menyembuhkan penyakit mental, membuat hidup lebih bahagia, dan mengidentifikasi
dan membina bakat mulia dan kegeniusan. Setelah Perang Dunia II, dua misi yang
terakhir diabaikan sama sekali. Berdasarkan tiga misi inilah, ditegakkan tiga
prinsip psikologi positif : (1) studi tentang emosi positif (optimisme,
kebahagiaan, kasih sayang, dsb.), (2) studi tentang sifat-sifat positif
(kebajikan, kreativitas, kegigihan, keberanian, cinta, dsb.), dan (3) studi
tentang lembaga-lembaga positif yang mendukung kebajikan.
Bila
psikologi positif dianggap sebagai “science of happiness” seperti diungkap Tal
Ben Shahar (dalam Mabe, 2008), maka kritik yang pernah muncul ialah bahwa
dengan adanya gelombang psikologi positif, terdapat “tekanan kultural” terhadap
setiap orang untuk menjadi bahagia sepanjang masa yang akhirnya membuat orang
senantiasa mengkaji tingkat kebahagiaannya dan selanjutnya menginginkan hal
yang lebih. Kebahagiaan menjadi “obsesi” yang hanya membuat orang lebih tidak
berbahagia (Wilson dalam Megan, 2008). Kendati demikian, menurut Shahar (Megan,
2008), ahli-ahli psikologi positif tidak hanya berbicara mengenai kebahagiaan
dan juga tidak menafikan aspek negatif dari kehidupan (sebagaimana terdapat
dalam Pollyannaisme), melainkan:
“Mereka
berbicara mengenai keterlibatan (engagement), mengenai perasaan yang dalam akan
makna, sebuah hidup yang bertujuan. Hal-hal ini bersama dengan kenikmatan
(pleasure) merupakan bagian bersama dari sebuah kehidupan bahagia. Tidak ada
jalan pintas, tidak ada lima langkah mudah untuk menuju kebahagiaan.”
Berdasarkan
kalimat Shahar, guru besar psikologi di Universitas Harvard, di atas jelas
bahwa terdapat perbedaan kandungan isi dan metodologi antara “psikologi
positif” yang ditawarkan oleh kebanyakan psikologi di pasar dengan boosterism
(pemercepatan dengan upaya ekstra) peraihan kebahagiaannya, yang boleh jadi
bersifat ilmiah semu (pseudoscientific) bagi ilmu psikologi serta psikologi
positif yang dikembangkan oleh para ilmuwan (scientific psychology). Menurut
dasar ontologis scientific psychology, jelas adanya bahwa titik berangkat
psikologi justru ketidakbahagiaan (Takwin, 2009). Senada dengan Takwin, De
Rubeis (2000) jauh hari sebelumnya telah mengungkap bahwa “Psikologi negatif
(negative psychology) merupakan bagian yang tak terpisahkan dari psikologi
positif.” Lebih jelas, Takwin (2009) menjelaskan:
“Psikologi
tidak bisa memulai dari pendefinisian kebahagiaan karena kebahagiaan sulit
dikenali. Titik berangkat psikologi adalah ketidakbahagiaan jelas adanya.
Tetapi, kebahagiaan tidak dapat diartikan sebagai tidak adanya
ketidakbahagiaan. Kebahagiaan bukan juga sekadar terselesaikannya masalah
seseorang. Kebahagiaan selalu merupakan situasi jiwa yang baru, situasi yang
mengandung kebaruan yang dapat menghubungkan jiwa dan kebahagiaan.
Secara
umum, situasi psikologis selalu merupakan sesuatu yang dikenali sebagai
hubungan antara disposisi chaotic dari jiwa (mencakup perasaan, tingkahlaku,
dan pikiran) dan apa yang dikenali sebagai kebahagiaan. Dalam konteks ini,
termasuk juga menghubungkan apa yang tadinya dianggap kebahagiaan namun dalam
kenyataannya tidak menghasilkan kebahagiaan,
dengan apa yang mungkin menghasilkan kebahagiaan Psikologi mencoba
mengajukan proposisi baru yang menata keadaan chaotic dari jiwa sehingga
menghasilkan kebahagiaan.”
Bila
membaca hal di atas, kita dapat memadankannya dengan basis pernyataan Seligman
(1999) ketika membicarakan pemberdayaan komunitas sebagai salah satu tonggak
psikologi positif, bahwa peradaban bukan hanya berarti tiadanya
ketidakberadaban (civility is not just the absence of incivility), bahwa
peradaban yang terbangun akan terus terbangun dan meluas. Hal ini pada
hakikatnya sesuai dengan perjalanan penelitian Martin Seligman (2002) dari
ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness), upaya terapi
terhadapnya, yang menuju kepada optimisme atau kebahagiaan yang dipelajari
(learned optimism atau learned happiness) dan upaya promosinya.
Terdapat
hubungan paradoksal dan dialektis dalam pengalaman manusia antara learned
helplessness dan learned optimism. Patut dicatat dalam kaitan ini bahwa
Seligman mengakui, “Saya terlahir sebagai seorang pesimis dan saya pikir hanya
para pesimis yang dapat mengerjakan karya serius mengenai optimisme” (Scherer,
2008). Tulisan lain dalam bahasa Indonesia yang meskipun berbasis pengalaman
empiris sehari-hari dan bukannpenelitian sistematis, namun mampu menggambarkan
secara memadain bahwa “psikologi negatif” tidak selalu negatif hasilnya adalah
buku “Be Negative” karya Naomi Susan.
Kritik
lain terhadap psikologi positif adalah pertanyaan apakah terdapat kongruensi
antara aplikasi psikologi positif dalam tataran individual dan dalam tataran
kelompok (kelompok bisnis, sekolah, komunitas, dan sebagainya). Untuk jelasnya,
mari kita cermati riset yang dilakukan oleh departemen psikologi Northwestern
University (2008). Riset ini meneliti bagaimana pengaruh penaikan harga diri
(self-esteem) melalui pengkontemplasian pencapaian seseorang atau penerimaan
umpan balik positif dari orang lain terhadap dorongan menyelamatkan mukanya
sendiri (face-saving) untuk membenarkan dan tetap menjalankan
keputusankeputusan yang hasilnya sesungguhnya diragukan efektivitasnya. Hasil
penelitian itu antara lain sebagai berikut:
“Dalam
sebuah penelitian, para partisipan yang merupakan para manajer senior dari
sebuah bank investasi yang besar menerima umpan balik positif yang menekankan
betapa rasionalnya mereka. Alih-alih berakibat positif, umpan balik ini juga
secara erat berkaitan dengan keputusan yang mereka buat ketika menerima seorang
karyawan yang kemudian diketahui memiliki riwayat kinerja yang tidak baik. Para
manajer senior tersebut secara membabi buta mengomitmenkan diri mereka
berulang-ulang dengan keputusan awal mereka untuk mempekerjakan orang tersebut,
serta merekomendasikan untuk menyediakan waktu dan menghabiskan uang tambahan
untuk melatih orang ini, ketimbang mengakui keputusan buruk mereka serta
memotong rantai efek keputusan mereka yang keliru.”
Menurut
Seligman, Steen, Park, dan Peterson (2005), psikologi positif merupakan istilah
yang memayungi studi-studi terhadap emosi-emosi positif, sifat-sifat dasar
positif, dan pemberdayaan institusi/komunitas. Dalam pembahasaan yang lain,
psikologi positif mempelajari kondisi-kondisi dan proses-proses yang berkontribusi
terhadap penyuburan atau pemfungsian individu, kelompok, dan lembaga secara
optimal (Gable & Haidt, 2005).
Psikologi
positif tidak menyangkal nilai-nilai dari penelitian-penelitian yang sudah ada
tentang psikopatologi, namun melampaui itu, berfokus pada
kemungkinan-kemungkinan untuk meningkatkan keberfungsian manusia dengan
berupaya membangun kekuatan individual daripada berfokus pada kelemahannya
(Garr, 2007). Kekuatan-kekuatan ini dideskripsikan dalam peristilahan
pendidikan karakter (character education) atau keutamaan-keutamaan (virtues)
(Peterson & Seligman, 2004).
Sementara
Martin Seligman, sang pendiri psikologi positif, berpendapat bahwa psikologi
positif dapat dengan cukup mudah ditransfer kedalam kehidupan korporat
(Scherer, 2008); apakah hasil penelitian di atas berimplikasi bahwa dengan
memaksimalkan harga diri (dan hal-hal positif lain, seperti optimisme,
kepercayaan, engagement, dan sebagainya) tiap-tiap orang dalam kelompok atau
organisasi, psikologi positif justru membawa organisasi kedalam bahaya?
Ataukah, kita harus merujuk kembali pada hukum psikologi Gestalt bahwa
keseluruhan atau totalitas (dalam hal ini: kelompok, organisasi) bukanlah
penjumlahan dari bagian-bagian (individuindividu) totalitas itu? Sebagaimana
diungkap oleh Irwanto (2002), dalam totalitas terdapat unsur baru, struktur dan
arti yang ditentukan oleh hubungan antar bagian dalam totalitas tersebut.
Transfer psikologi positif dari level individual ke level social dan
institusional memang nampak memerlukan penyelidikan lebih lanjut.
Psikologi
yang berkembang dewasa ini dapat disebut sebagai psikologi negatif, karena
berkutat pada sisi-negatif manusia. Psikologi, karena itu, paling banter hanya
menawarkan terapi atas masalah-masalah kejiwaan. Padahal, manusia tidak hanya
ingin terbebas dari problem, tetapi juga mendambakan kebahagiaan. Adakah
psikologi jenis lain yang menjawab harapan ini?
Martin
Seligman, seorang psikolog pakar studi optimisme, memelopori revolusi dalam
bidang psikologi melalui gerakan Psikologi Positif. Berlawanan dengan psikologi
negatif, sains baru ini mengarahkan perhatiannya pada sisi-positif manusia,
mengembangkan potensi-potensi kekuatan dan kebajikan sehingga membuahkan
kebahagiaan yang autentik dan berkelanjutan.
Dalam
buku revolusioner yang ditulis dengan gaya populer ini, Seligman memperkenalkan
prinsip-prinsip dasar Psikologi Positif, ciri-ciri kebahagiaan yang autentik,
dan faktor-faktor pendukungnya. Dengan metode-metode praktis yang
dirumuskannya, Anda dapat memanfatkan temuan-temuan terbaru dari sains
kebahagiaan untuk mengukur dan mengembangkan kebahagiaan dalam hidup Anda.
Psikologi
positif adalah cabang baru psikologi yang bertujuan diringkas pada tahun 2000
oleh Martin Seligman dan Mihaly Csikszentmihalyi "Kami percaya bahwa
psikologi positif akan muncul fungsi manusia yang mencapai pemahaman ilmiah dan
efektif untuk membangun berkembang dalam individu, keluarga, dan masyarakat.
Psikologi positif mencari" untuk mencari dan membina jenius dan bakat
", dan" untuk membuat kehidupan normal lebih memuaskan ", tidak
hanya untuk mengobati penyakit mental. Pendekatan ini telah menciptakan banyak
menarik di sekitar subjek, dan pada tahun 2006 studi di Universitas Harvard
yang berjudul "Psikologi Positif" menjadi kursus semester yang paling
populer semester.
Beberapa
Psikolog Humanistik, seperti Abraham Maslow, Carl Rogers, dan Erick Fromm
mengembangkan teori dan praktek yang melibatkan kebahagiaan manusia. Baru-baru
ini teori yang dikembangkan oleh para psikolog humanistik ini telah menemukan dukungan
empiris dari studi oleh para psikolog positif, meskipun penelitian ini telah
banyak dikritik. Teori ini lebih berfokus pada kepuasan dengan sumber
filosofismenya keagamaan dan psikologi humanistic.
Psikologi
adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa dan perilaku manusia dalam kehidupan
sehari-hari. Dan selama ini yang kita ketahui, bidang psikologi selalu
menghadapi hal-hal yang berhubungan dengan jiwa seseorang, misalnya penyebab
orang mengalami gangguan jiwa, mengapa orang bisa mengalami stress, dan
lain-lain. Yang selalu berhubungan dengan sisi negatif seseorang.
Tetapi
selama ini kita mengenal yang nama nya psikologi positif, yaitu lebih
menekankan apa yang benar/baik pada seseorang, dibandingkan apa yang
salah/buruk. Sebelumnya, psikologi biasanya selalu menekankan apa yang salah
pada manusia, seperti soalan stress, depresi, kegelisahan dan lain lain.
Itulah
sebabnya, ada aliran baru dalam dunia psikologi, dan menyebutnya sebagai
psikologi positif. Menurut Seligman, “Psikologi bukan hanya studi tentang
kelemahan dan kerusakan; psikologi juga adalah studi tentang kekuatan dan kebajikan.
Pengobatan bukan hanya memperbaiki yang rusak; pengobatan juga berarti
mengembangkan apa yang terbaik yang ada dalam diri kita.” Misi Seligman ialah
mengubah paradigma psikologi, dari psikologi patogenis yang hanya berkutat pada
kekurangan manusia ke psikologi positif, yang berfokus pada kelebihan manusia.
Berfokus
terhadap penanganan berbagai masalah bukanlah hal baru dalam dunia psikologi.
Sejak dulu, manusia selalu dipandang sebagai makhluk yang bermasalah. Sejak
awal mula munculnya aliran psikologi (mashab behaviorisme), manusia dipandang
sebagai suatu mekanik yang penuh dengan banyak masalah. Mashab ini kemudian
melihat masalah yang ada pada manusia, belum lagi dengan mashab psikoanalisis
yang melihat kenangan masa lalu sebagai penyebab penderitaan yang ada saat ini.
Apapun itu, psikologi yang berkembang selama bertahun-tahun lamanya lebih
memedulikan kekurangan ketimbang kelebihan yang ada pada manusia. Itulah
sebabnya psikologi yang berkutat pada masalah sering disebut sebagai psikologi
negatif.
Psikologi
positif berhubungan dengan penggalian emosi positif, seperti bahagia, kebaikan,
humor, cinta, optimis, baik hati, dan sebagainya. Sebelumnya, psikologi lebih
banyak membahas hal-hal patologis dan gangguan-gangguan jiwa juga emosi
negatif, seperti marah, benci, jijik, cemburu dan sebagainya. Dalam Richard S.
Lazarus, disebutkan bahwa emosi positif biasanya diabaikan atau tidak
ditekankan, hal ini tidak jelas kenapa demikian. Kemungkinan besar hal ini
karena emosi negatif jauh lebih tampak dan memiliki pengaruh yang kuat pada
adaptasi dan rasa nyaman yang subyektif dibanding melakukan emosi positif.
Contohnya, pada saat kita marah, maka ada rasa nyaman yang terlampiaskan, rasa
superior, dan sebagainya. Ada suatu penelitian mengatakan bahwa marah adalah
emosi yang dipelajari, sehingga dia akan cenderung untuk mengulangi hal yang
dirasa nyaman.
Psikologi
positif tidak bermaksud mengganti atau menghilangkan penderitaan, kelemahan
atau gangguan (jiwa), tapi lebih kepada menambah khasanah atau memperkaya,
serta untuk memahami secara ilmiah tentang pengalaman manusia.
Jadi
intinya saat ini kita sudah mengenal yang nama nya psikologi positif, ada
baiknya kita merubah diri kita sedikit demi sedikit. Sebisa mungkin kita lebih
mengeluarkan emosi positif kita dibandingkan emosi negatif kita. Maka hasilnya
pun akan positif.
DAFTAR PUSTAKA