Kamis, 30 Oktober 2014

TOKOH PSIKOLOGI POSITIVE - MARTIN SELIGMAN



Martin Seligman

        Seberapa lamakah kita terus berada dalam garis ketidaknormalan? Jawabannya adalah selalu. Kita terus dihinggapi ketidaknormalan. Ketidaknormalan untuk tidak menyadari bahwa ada kebahagiaan yang lebih luas di dalam kesedihan, ketidaknormalan untuk tidak menyadari bahwa ada ketenangan dalam keletihan kita menjalani kehidupan, ketidaknormalan untuk menentukan pikiran bahwa kita mampu menaklukan masalah dari pada terus merenungi masalah.
Ketidaknormalan termasuk dalam negative pola pikir. Mengapa orang yang mempunyai pola pikir negative dibilang tidak normal? Hal itu selalu dikarenakan kehidupan mempunyai pilihan untuk menjadi normal maupun tidak normal. Selain itu jawaban yang paling tepat adalah apabila kita terus berpikir negative maka berbagai penyakit psikologi dapat hadir dan mencengkram kebahagiaan kehidupan yang harusnya manusia dapatkan.
         Sudah lama psikologi selalu dikaitkan dengan ilmu ketidaknormalan atau patogenis. Sudah lama pula ilmu psikologi selalu dikaitkan dengan penyakit kejiwaan. Apakah demikian? kalau ilmu psikologi ditetapkan pada ranah penyakit psikologi saja bagaimana pula tanggapan Ilmu Psikologi  tentang manusia yang berada dalam kurva normal? Untung sudah pada tahun 2000 ada seorang revolusioner dunia Psikologi yang mengubah paradigma total dunia psikologi yaitu Martin Seligman.
Martin Seligman seorang tokoh yang mampu mengubah cara pandang dan cara berpikir para psikolog dunia. Ia membuat semua psikolog harus berpikir ulang tentang pola pemikir sang psikolog sendiri bukan pasiennya. Ia membuat buku psikologi lebih laris dibaca dan dapat membuat psikologi mempunyai ruang tersendiri di perbagai forum terbuka. Apa yang ia bawa? Ia hanya menembus dunia dengan mengubah Negative Psychology menjadi Positive Psychology. Martin Seligman terkenal dengan nama “Father Of Positive Psychology” dikarenakan pemikirannya tersebut.
                  
Biografi Martin Seligman
           
"Ciri utama pesimis adalah bahwa mereka cenderung percaya bahwa peristiwa-peristiwa buruk akan bertahan lama, akan merusak segala sesuatu yang mereka lakukan, dan kesalahan mereka sendiri. Para optimis, yang dihadapkan dengan pukulan keras yang sama dari dunia ini, berpikir tentang kemalangan dengan cara yang berlawanan Mereka cenderung percaya bahwa kekalahan hanyalah kemunduran sementara atau tantangan, bahwa penyebabnya hanya terbatas pada kasus yang satu ini " - Martin Seligman, Learned Optimism, 1991.
Martin Seligman lahir pada tanggal 12 Agustus 1942 di Albany New York Amerika Serikat. Setelah lulus SMA ia melanjutkan pendidikannya ke Universitas Princeton dan lulus pada tahun 1964. Martin Seligman menikah dengan Mandy McCarthy dan terus bersama hingga kini. Pasangan itu dikaruniai enam orang anak yaitu Amanda, David, Lara, Nicole, Darryl, dan Carly. Seligman mendapatkan Master Ph.D. pada tahun 1967 di Universitas Pennsylvania. Awal karirnya bermula saat ia menjabat asisten professor di Universitas Ithaca, New York. Seligman memulai penelitian dibidang teori tentang pembelajaran ketidakberdayaan, pembelajaran perilaku pesimis, dimana ia memimpin penemuan untuk bidang pengobatan dan pencegahan dari depresi. Dalam penelitiannya di bidang pesimisme dan depresi ia menemukan dan memasukan ide baru yaitu optimisme.
Inilah awal mulanya ia menaruh dan menentukan ranah baru dari Psikologi. Pada tahun 1980 Seligman telah memperoleh jabatan sebagai pemimpin dari program pelatihan klinis di departemen psikologi universitas Pennsylvania sampai 14 tahun. pada rentang waktu yang sama ia berhasil memperoleh penghargaan dari akademi pelatihan  USA sebagai Praktisi Pembaharuan dan pada tahun itu juga ia berhasil menggondol penghargaan dari A.P.A universitas Pennyslavania sebagai tokoh pembahuruan yang memberikan kontribusi untuk pengetahuan dan pelatihan. Selain itu ia juga berhasil menerima penghargaan lain selama karirnya. Pada penelitiannya ia menggabungkan beberapa aspek dalam psikologi yaitu depresi, ketidakberdayaan, perilaku sosial dan depresi pada anak-anak. Berbagai institusi memberikan dukungan untuk seligman dalam penelitiannya dan menulis baik nasional maupun internasional. Selain itu ia berhasil menggondol penghargaan MERIT untuk penelitiannya dalam bidang depresi di tahun 1991.
Pada tahun 1995 ia berkampanye dalam pemilihan presiden A.P.A. (American Psychological Association) setelah itu ia memenangi Pemilihan tersebut pada tahun 1996 dengan perolehan suara terbesar sepanjang sejarah pemilihan tersebut. Tujuan utamanya sebagai presiden A.P.A adalah untuk penggabungan pelatihan dengan ilmu pengetahuan secara bersama-sama sehingga kedua cabang tersebut dapat berkembang. Martin Seligman juga menetapkan Happiness atau kebahagiaan sebagai tujuan yang paling utamanya. Martin Seligman merasa bahwa psikologi membutuhkan jalan alternative untuk pengobatan bukan hanya perilaku negative dan penyakit jiwa.
Presiden Seligman telah mempublikasikan 20 buku dan 200 artikelnya berkaitan dalam psikologi personality serta motivasi. Beberapa bukunya yang terkenal yaitu learned optimism, what your change and what your cant, the optimistic child dan authenthic happiness. Bukunya sendiri telah menjadi bestseller untuk daerah USA dan sekitarnya. Selain itu buku-buku ciptaannya telah terjemahkan ke dalam 16 bahasa serta ia menerima berbagai macam penghargaan untuk karya tulisanya tersebut. Dalam berbagai rentang waktu Martin Seligman telah menjadi tajuk Utama pemberitaan New York Times, Time, Fortune dll. Majalah-majalah popular tersebut mengambil focus utama tentang teori Seligman yang secara langsung terelasi dengan semua orang setiap harinya. Dimana teori Martin Seligman membuat dunia dan orang menjadi lebih bahagia, optimis serta nyaman dalam berbagai keadaan.

Teori Martin Seligman
Depresi menurut Martin Seligman learned hardness yaitu ketika seseorang mengalami pengalaman negative. Hal tersebut seperti ketika dihadapkan dengan stress dan rasa kesakitan yang panjang, mereka akan lebih mungkin mengalami depresi. Depresi akan terjadi setelah suatu peristiwa negative dimana individu menjelaskan peristiwa tersebut dengan atribusi yang menyalahkan diri sendiri. Mereka menyalahkan diri sendiri karena menjadi penyebab peristiwa tersebut. Dengan model penjelasan seperti ini akan menghasilkan ekspetasi bahwa tidak ada perilaku yang dapat dilakukan untuk mengontrol hasil dari peristiwa yang sama dimasa yang akan datang, yang menyebabkan ketidakberdayaan, tidak ada harapan, sikap pasif dan depresif.
 Psikologi Positif ala Seligman berawal dari premis bahwa manusia itu “pada dasarnya happy” dan ilmu psikologi hadir sekedar untuk menguatkan perasaan positif itu. Pertanyaan sekarang adalah: bagaimana kita bisa mengetahui apakah kita orang optimis atau pesimis? Dalam buku ini, Seligman menguraikan jawabannya. Menurut dia, elemen optimisme bisa ditebak dari cara kita menjelaskan kejadian (baik kejadian buruk atau baik) yang menimpa diri kita. Disini kita dikenalkan dengan dua tipe penjelasan.
Tipe penjelasan yang pertama adalah: Permanence. Orang yang pesimis selalu menjelaskan peristiwa buruk yang menimpa mereka sebagai sesuatu yang cenderung permanen (misal: bos saya selalu menyalahkan saya; atau  saya tidak pernah berhasil menjadi entrepreneur; atau  saya tidak akan pernah bisa lulus tes asesmen; dst. ). Kalimat “selalu” atau “tidak pernah” adalah sesuatu yang permanen; dan orang pesimis cenderung suka menggunakan kalimat itu (baik secara terbuka atau dalam hati).
Sebaliknya orang optimis akan memandang kejadian buruk (bad events) yang menimpa mereka sebagai sesuatu yang bersifat temporer (misal: hari ini bos saya lagi bad mood; atau bos saya marah kalau saya terlambat menyelesaikan laporan; atau saya tidak berhasil dalam bisnis karena salah memilih lokasi toko; dst).  Contoh kalimat yang bersifat temporer semacam ini membuat orang bisa melihat kejadian buruk sebagai sesuatu yang bersifat sementara — bukan permanen — dan bisa dihindari di masa mendatang.
Tipe penjelasan yang kedua adalah: Pervasiveness. Orang yang pesimis cenderung memberikan penjelasan yang menggeneralisir (pervasive) atas bad events yang ada di sekeliling mereka (misal: semua bos disini bermain office politics; atau semua peraturan di perusahaan ini tidak fair; semua buku motivasi itu isinya hanya sampah; dan beragam kalimat sejenisnya). Pervasive artinya kita menggeneralisasi akan sesuatu peristiwa atau kejadian.
Sebaliknya, insan yang optimis akan memberikan penjelasan yang bernada spesifik (bukan pervasive dan generalisasi), misalnya seperti: bos di bagian keuangan itu melakukan office politics; ada peraturan di bidang uang lembur yang tidak fair; atau buku motivasi yang sedang saya baca sekarang ini isinya tidak bagus. Penjelasan yang bersifat spesifik — dan bukan generalisasi — membuat kita bisa melihat bahwa sesungguhnya tidak semua dimensi dalam suatu kejadian/peristiwa itu merugikan. Pasti masih ada celah positif di balik beragam dimensi lainnya.
Menurut Prof. Seligman, ada tiga cara untuk bahagia:
1. Have a Pleasant Life (life of enjoyment):
    Milikilah hidup yg menyenangkan, dapatkan kenikmatan sebanyak mungkin. ini mungkin cara yg ditempuh oleh kaum hedonis. Tapi jika ini cara yang kita tempuh, hati-hati dengan jebakan hedonic treadmill (= semakin kita mencari kenikmatan, semakin kita sulit dipuaskan) dan jebakan habituation (kebosanan karena terlalu banyak, misalnya; makan es krim pada jilatan pertama sangat nikmat, tapi pada jilatan keduapuluh, kita jadi pengin muntah). tapi pada takaran yg pas, cara ini bisa sangat membahagiakan.
2.   Have a Good Life (life of engagement):
      Dalam bahasa aristoteles disebut eudaimonia, terlibatlah dalam pekerjaan, hubungan atau kegiatan yg membuat kita mengalami "flow". merasa terserap dalam kegiatan itu, seakan-akan waktu berhenti bergerak, kita bahkan tidak merasakan apapun, karena sangat "khusyu'". fenomena ini diteliti secara khusus oleh rekan Seligman, Mihaly Csikzentmihalyi. dan memberikan 7 ciri-ciri kita dalam kondisi flow:
a)         Sepenuhnya terlibat pada apa yg kita lakukan (focused, concentrated, khusyu').
b)         Merasakan "a senses of ecstasy" (seperti berada di luar realitas sehari-hari).
c)         Memiliki "kejernihan yang luar biasa" (benar-benar memahami apa yang harus dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya).
d)       Menyadari bahwa tantangan pekerjaan yang sedang ia hadapi benar-benar dapat ia atasi (bahwa skill yang kita miliki cukup memadai untuk mengerjakan tugas tersebut).
e)     Merasakan "kedamaian hati" ( tidak ada kekhawatiran dan merasakan diri kita sedang bertumbuh melampaui ego kita sendiri).
f)       Terserap oleh waktu (karena khusyu' mengerjakan dan benar-benar terfokus pada "saat ini dan disini", waktu seakan-akan berlalu tanpa terasa).
g)      Motivasi Intrinsik (dimana merasakan "flow" itu sendiri sudah merupakan hadiah yang cukup berharga untuk melakukan pekerjaan itu).
3. Have A Meaningful Life (life of Contribution) :
           Milikilah semangat melayani, berkontribusi dan bermanfaat untuk orang lain atau mahluk lain. Menjadi bagian dari organisasi atau kelompok, tradisi atau gerakan tertentu. Merasa hidup kita memiliki "makna" yang lebih tinggi dan lebih abadi dibanding diri kita sendiri.

Psikologi Positif adalah sebuah gerakan baru dalam ilmu psikologi yang lebih menekankan pada eksplorasi potensi-potensi produktif dalam diri manusia. Berbeda dengan Behaviorisme dan Psikoanalisis misalnya, yang cenderung pesimis melihat takdir manusia. Kedua mazhab psikologi yang sampai sekarang masih dominan ini terlalu berburuk sangka pada manusia. Paradigma keilmuan yang dibangunnya terlalu bersifat klinis, dan kosekuensinya, tugas ilmu psikologi hanya memahami gangguan-gangguan mental yang diderita manusia, bukan berusaha membantu manusia untuk mengembangkan kemampuannya secara optimal. Menurut Martin Seligman (2002), pendiri gerakan psikologi positif, kedua mazhab ini telah mewariskan ilmu psikologi yang bersifat patogenis.
Jika psikologi patogenis sibuk mempelajari kelemahan dan kerentanan manusia kemudian berusaha memperbaikinya, psikologi positif memusatkan perhatian pada kelebihan dan kekuatan manusia. Alih-alih berusaha memperbaiki apa yang rusak dalam diri manusia, psikologi positif mencoba membangun hidup di atas apa yang terbaik dari diri manusia. Psikologi positif mengidentifikasi kekuatan dalam diri manusia untuk mencapai kesehatan dan kebahagiaan. Bukan hanya terhindar dari penyakit, tetapi juga hidup bahagia. Bukan hanya sekedar hidup (living), tetapi juga bagaimana mengembangkannya (thriving).
Pada saat pelantikannya sebagai Presiden American Psychological Association tahun 1997, Seligman menyampaikan sebuah pidato yang dianggap sebagai tonggak lahirnya gerakan psikologi positif di dunia. Dalam pidatonya, ia menyebutkan bahwa sebelum Perang Dunia II, sebenarnya ada tiga misi utama psikologi: menyembuhkan penyakit mental, membuat hidup lebih bahagia, dan mengidentifikasi dan membina bakat mulia dan kegeniusan. Setelah Perang Dunia II, dua misi yang terakhir diabaikan sama sekali. Berdasarkan tiga misi inilah, ditegakkan tiga prinsip psikologi positif : (1) studi tentang emosi positif (optimisme, kebahagiaan, kasih sayang, dsb.), (2) studi tentang sifat-sifat positif (kebajikan, kreativitas, kegigihan, keberanian, cinta, dsb.), dan (3) studi tentang lembaga-lembaga positif yang mendukung kebajikan.         
Bila psikologi positif dianggap sebagai “science of happiness” seperti diungkap Tal Ben Shahar (dalam Mabe, 2008), maka kritik yang pernah muncul ialah bahwa dengan adanya gelombang psikologi positif, terdapat “tekanan kultural” terhadap setiap orang untuk menjadi bahagia sepanjang masa yang akhirnya membuat orang senantiasa mengkaji tingkat kebahagiaannya dan selanjutnya menginginkan hal yang lebih. Kebahagiaan menjadi “obsesi” yang hanya membuat orang lebih tidak berbahagia (Wilson dalam Megan, 2008). Kendati demikian, menurut Shahar (Megan, 2008), ahli-ahli psikologi positif tidak hanya berbicara mengenai kebahagiaan dan juga tidak menafikan aspek negatif dari kehidupan (sebagaimana terdapat dalam Pollyannaisme), melainkan:
“Mereka berbicara mengenai keterlibatan (engagement), mengenai perasaan yang dalam akan makna, sebuah hidup yang bertujuan. Hal-hal ini bersama dengan kenikmatan (pleasure) merupakan bagian bersama dari sebuah kehidupan bahagia. Tidak ada jalan pintas, tidak ada lima langkah mudah untuk menuju kebahagiaan.”
Berdasarkan kalimat Shahar, guru besar psikologi di Universitas Harvard, di atas jelas bahwa terdapat perbedaan kandungan isi dan metodologi antara “psikologi positif” yang ditawarkan oleh kebanyakan psikologi di pasar dengan boosterism (pemercepatan dengan upaya ekstra) peraihan kebahagiaannya, yang boleh jadi bersifat ilmiah semu (pseudoscientific) bagi ilmu psikologi serta psikologi positif yang dikembangkan oleh para ilmuwan (scientific psychology). Menurut dasar ontologis scientific psychology, jelas adanya bahwa titik berangkat psikologi justru ketidakbahagiaan (Takwin, 2009). Senada dengan Takwin, De Rubeis (2000) jauh hari sebelumnya telah mengungkap bahwa “Psikologi negatif (negative psychology) merupakan bagian yang tak terpisahkan dari psikologi positif.” Lebih jelas, Takwin (2009) menjelaskan:
“Psikologi tidak bisa memulai dari pendefinisian kebahagiaan karena kebahagiaan sulit dikenali. Titik berangkat psikologi adalah ketidakbahagiaan jelas adanya. Tetapi, kebahagiaan tidak dapat diartikan sebagai tidak adanya ketidakbahagiaan. Kebahagiaan bukan juga sekadar terselesaikannya masalah seseorang. Kebahagiaan selalu merupakan situasi jiwa yang baru, situasi yang mengandung kebaruan yang dapat menghubungkan jiwa dan kebahagiaan.
Secara umum, situasi psikologis selalu merupakan sesuatu yang dikenali sebagai hubungan antara disposisi chaotic dari jiwa (mencakup perasaan, tingkahlaku, dan pikiran) dan apa yang dikenali sebagai kebahagiaan. Dalam konteks ini, termasuk juga menghubungkan apa yang tadinya dianggap kebahagiaan namun dalam kenyataannya tidak menghasilkan kebahagiaan,  dengan apa yang mungkin menghasilkan kebahagiaan Psikologi mencoba mengajukan proposisi baru yang menata keadaan chaotic dari jiwa sehingga menghasilkan kebahagiaan.”
Bila membaca hal di atas, kita dapat memadankannya dengan basis pernyataan Seligman (1999) ketika membicarakan pemberdayaan komunitas sebagai salah satu tonggak psikologi positif, bahwa peradaban bukan hanya berarti tiadanya ketidakberadaban (civility is not just the absence of incivility), bahwa peradaban yang terbangun akan terus terbangun dan meluas. Hal ini pada hakikatnya sesuai dengan perjalanan penelitian Martin Seligman (2002) dari ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness), upaya terapi terhadapnya, yang menuju kepada optimisme atau kebahagiaan yang dipelajari (learned optimism atau learned happiness) dan upaya promosinya.

Terdapat hubungan paradoksal dan dialektis dalam pengalaman manusia antara learned helplessness dan learned optimism. Patut dicatat dalam kaitan ini bahwa Seligman mengakui, “Saya terlahir sebagai seorang pesimis dan saya pikir hanya para pesimis yang dapat mengerjakan karya serius mengenai optimisme” (Scherer, 2008). Tulisan lain dalam bahasa Indonesia yang meskipun berbasis pengalaman empiris sehari-hari dan bukannpenelitian sistematis, namun mampu menggambarkan secara memadain bahwa “psikologi negatif” tidak selalu negatif hasilnya adalah buku “Be Negative” karya Naomi Susan.
Kritik lain terhadap psikologi positif adalah pertanyaan apakah terdapat kongruensi antara aplikasi psikologi positif dalam tataran individual dan dalam tataran kelompok (kelompok bisnis, sekolah, komunitas, dan sebagainya). Untuk jelasnya, mari kita cermati riset yang dilakukan oleh departemen psikologi Northwestern University (2008). Riset ini meneliti bagaimana pengaruh penaikan harga diri (self-esteem) melalui pengkontemplasian pencapaian seseorang atau penerimaan umpan balik positif dari orang lain terhadap dorongan menyelamatkan mukanya sendiri (face-saving) untuk membenarkan dan tetap menjalankan keputusankeputusan yang hasilnya sesungguhnya diragukan efektivitasnya. Hasil penelitian itu antara lain sebagai berikut:
“Dalam sebuah penelitian, para partisipan yang merupakan para manajer senior dari sebuah bank investasi yang besar menerima umpan balik positif yang menekankan betapa rasionalnya mereka. Alih-alih berakibat positif, umpan balik ini juga secara erat berkaitan dengan keputusan yang mereka buat ketika menerima seorang karyawan yang kemudian diketahui memiliki riwayat kinerja yang tidak baik. Para manajer senior tersebut secara membabi buta mengomitmenkan diri mereka berulang-ulang dengan keputusan awal mereka untuk mempekerjakan orang tersebut, serta merekomendasikan untuk menyediakan waktu dan menghabiskan uang tambahan untuk melatih orang ini, ketimbang mengakui keputusan buruk mereka serta memotong rantai efek keputusan mereka yang keliru.”
Menurut Seligman, Steen, Park, dan Peterson (2005), psikologi positif merupakan istilah yang memayungi studi-studi terhadap emosi-emosi positif, sifat-sifat dasar positif, dan pemberdayaan institusi/komunitas. Dalam pembahasaan yang lain, psikologi positif mempelajari kondisi-kondisi dan proses-proses yang berkontribusi terhadap penyuburan atau pemfungsian individu, kelompok, dan lembaga secara optimal (Gable & Haidt, 2005).
Psikologi positif tidak menyangkal nilai-nilai dari penelitian-penelitian yang sudah ada tentang psikopatologi, namun melampaui itu, berfokus pada kemungkinan-kemungkinan untuk meningkatkan keberfungsian manusia dengan berupaya membangun kekuatan individual daripada berfokus pada kelemahannya (Garr, 2007). Kekuatan-kekuatan ini dideskripsikan dalam peristilahan pendidikan karakter (character education) atau keutamaan-keutamaan (virtues) (Peterson & Seligman, 2004).
Sementara Martin Seligman, sang pendiri psikologi positif, berpendapat bahwa psikologi positif dapat dengan cukup mudah ditransfer kedalam kehidupan korporat (Scherer, 2008); apakah hasil penelitian di atas berimplikasi bahwa dengan memaksimalkan harga diri (dan hal-hal positif lain, seperti optimisme, kepercayaan, engagement, dan sebagainya) tiap-tiap orang dalam kelompok atau organisasi, psikologi positif justru membawa organisasi kedalam bahaya? Ataukah, kita harus merujuk kembali pada hukum psikologi Gestalt bahwa keseluruhan atau totalitas (dalam hal ini: kelompok, organisasi) bukanlah penjumlahan dari bagian-bagian (individuindividu) totalitas itu? Sebagaimana diungkap oleh Irwanto (2002), dalam totalitas terdapat unsur baru, struktur dan arti yang ditentukan oleh hubungan antar bagian dalam totalitas tersebut. Transfer psikologi positif dari level individual ke level social dan institusional memang nampak memerlukan penyelidikan lebih lanjut.

Psikologi yang berkembang dewasa ini dapat disebut sebagai psikologi negatif, karena berkutat pada sisi-negatif manusia. Psikologi, karena itu, paling banter hanya menawarkan terapi atas masalah-masalah kejiwaan. Padahal, manusia tidak hanya ingin terbebas dari problem, tetapi juga mendambakan kebahagiaan. Adakah psikologi jenis lain yang menjawab harapan ini?
Martin Seligman, seorang psikolog pakar studi optimisme, memelopori revolusi dalam bidang psikologi melalui gerakan Psikologi Positif. Berlawanan dengan psikologi negatif, sains baru ini mengarahkan perhatiannya pada sisi-positif manusia, mengembangkan potensi-potensi kekuatan dan kebajikan sehingga membuahkan kebahagiaan yang autentik dan berkelanjutan.
Dalam buku revolusioner yang ditulis dengan gaya populer ini, Seligman memperkenalkan prinsip-prinsip dasar Psikologi Positif, ciri-ciri kebahagiaan yang autentik, dan faktor-faktor pendukungnya. Dengan metode-metode praktis yang dirumuskannya, Anda dapat memanfatkan temuan-temuan terbaru dari sains kebahagiaan untuk mengukur dan mengembangkan kebahagiaan dalam hidup Anda.
Psikologi positif adalah cabang baru psikologi yang bertujuan diringkas pada tahun 2000 oleh Martin Seligman dan Mihaly Csikszentmihalyi "Kami percaya bahwa psikologi positif akan muncul fungsi manusia yang mencapai pemahaman ilmiah dan efektif untuk membangun berkembang dalam individu, keluarga, dan masyarakat. Psikologi positif mencari" untuk mencari dan membina jenius dan bakat ", dan" untuk membuat kehidupan normal lebih memuaskan ", tidak hanya untuk mengobati penyakit mental. Pendekatan ini telah menciptakan banyak menarik di sekitar subjek, dan pada tahun 2006 studi di Universitas Harvard yang berjudul "Psikologi Positif" menjadi kursus semester yang paling populer semester.
Beberapa Psikolog Humanistik, seperti Abraham Maslow, Carl Rogers, dan Erick Fromm mengembangkan teori dan praktek yang melibatkan kebahagiaan manusia. Baru-baru ini teori yang dikembangkan oleh para psikolog humanistik ini telah menemukan dukungan empiris dari studi oleh para psikolog positif, meskipun penelitian ini telah banyak dikritik. Teori ini lebih berfokus pada kepuasan dengan sumber filosofismenya keagamaan dan psikologi humanistic.
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa dan perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dan selama ini yang kita ketahui, bidang psikologi selalu menghadapi hal-hal yang berhubungan dengan jiwa seseorang, misalnya penyebab orang mengalami gangguan jiwa, mengapa orang bisa mengalami stress, dan lain-lain. Yang selalu berhubungan dengan sisi negatif seseorang.
Tetapi selama ini kita mengenal yang nama nya psikologi positif, yaitu lebih menekankan apa yang benar/baik pada seseorang, dibandingkan apa yang salah/buruk. Sebelumnya, psikologi biasanya selalu menekankan apa yang salah pada manusia, seperti soalan stress, depresi, kegelisahan dan lain lain.
Itulah sebabnya, ada aliran baru dalam dunia psikologi, dan menyebutnya sebagai psikologi positif. Menurut Seligman, “Psikologi bukan hanya studi tentang kelemahan dan kerusakan; psikologi juga adalah studi tentang kekuatan dan kebajikan. Pengobatan bukan hanya memperbaiki yang rusak; pengobatan juga berarti mengembangkan apa yang terbaik yang ada dalam diri kita.” Misi Seligman ialah mengubah paradigma psikologi, dari psikologi patogenis yang hanya berkutat pada kekurangan manusia ke psikologi positif, yang berfokus pada kelebihan manusia.
Berfokus terhadap penanganan berbagai masalah bukanlah hal baru dalam dunia psikologi. Sejak dulu, manusia selalu dipandang sebagai makhluk yang bermasalah. Sejak awal mula munculnya aliran psikologi (mashab behaviorisme), manusia dipandang sebagai suatu mekanik yang penuh dengan banyak masalah. Mashab ini kemudian melihat masalah yang ada pada manusia, belum lagi dengan mashab psikoanalisis yang melihat kenangan masa lalu sebagai penyebab penderitaan yang ada saat ini. Apapun itu, psikologi yang berkembang selama bertahun-tahun lamanya lebih memedulikan kekurangan ketimbang kelebihan yang ada pada manusia. Itulah sebabnya psikologi yang berkutat pada masalah sering disebut sebagai psikologi negatif.
Psikologi positif berhubungan dengan penggalian emosi positif, seperti bahagia, kebaikan, humor, cinta, optimis, baik hati, dan sebagainya. Sebelumnya, psikologi lebih banyak membahas hal-hal patologis dan gangguan-gangguan jiwa juga emosi negatif, seperti marah, benci, jijik, cemburu dan sebagainya. Dalam Richard S. Lazarus, disebutkan bahwa emosi positif biasanya diabaikan atau tidak ditekankan, hal ini tidak jelas kenapa demikian. Kemungkinan besar hal ini karena emosi negatif jauh lebih tampak dan memiliki pengaruh yang kuat pada adaptasi dan rasa nyaman yang subyektif dibanding melakukan emosi positif. Contohnya, pada saat kita marah, maka ada rasa nyaman yang terlampiaskan, rasa superior, dan sebagainya. Ada suatu penelitian mengatakan bahwa marah adalah emosi yang dipelajari, sehingga dia akan cenderung untuk mengulangi hal yang dirasa nyaman.
Psikologi positif tidak bermaksud mengganti atau menghilangkan penderitaan, kelemahan atau gangguan (jiwa), tapi lebih kepada menambah khasanah atau memperkaya, serta untuk memahami secara ilmiah tentang pengalaman manusia.

Jadi intinya saat ini kita sudah mengenal yang nama nya psikologi positif, ada baiknya kita merubah diri kita sedikit demi sedikit. Sebisa mungkin kita lebih mengeluarkan emosi positif kita dibandingkan emosi negatif kita. Maka hasilnya pun akan positif.








DAFTAR PUSTAKA

Minggu, 26 Oktober 2014

MANUSIA DAN PENDERITAAN - IBD MAKALAH 6



MANUSIA DAN PENDERITAAN


6.1. PENGERTIAN PENDERITAAN
A. Definisi Penderitaan Dan Contoh Penderitaan
            Penderitaan berasal dari kata derita. Kata derita berasal dari bahasa sansekerta yang artinya menahan atau menanggung. Derita artinya menanggung atau merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan. Penderitaan itu dapat lahir atau batin, atau lahir batin.
Penderitaan termasuk realitas dunia dan manusia. Intensitas penderitaan bertingkat-tingkat, ada yang berat ada juga yang ringan. Namun peranan individu juga menentukan berat-tidalmya intensitas penderitaan. Suatu peristiwa yang dianggap penderitaan oleh seseorang belum tentu merupakan penderitaan bagi orang lain. Dapat pula suatu penderitaan merupakan energi untuk bangkit bagi seseorang, atau sebagai langkah awal untuk mencapai kenilcmatan dan kebahagiaan.
Penderitaan akan dialami oleh semua orang, hal itu sudah merupakan "risiko" hidup. Tuhan memberikan kesenangan atau kebahagiaan kepada umatnya, tetapi juga memberikan penderitaan atau kesedihan yang kadang-kadang bennakna agar manusia sadar untuk tidak memalingkan dariNya. Untuk itu pada umumnya manusia telah diberikan tanda atau wangsit sebelumnya, hanya saja mampukah manusia menangkap atau tanggap terhadap peringatan yang diberikanNya? Tanda atau wangsit demikian dapat berupa mimpi sebagai pemunculan rasa tidak sadar dari manusia waktu tidur, atau mengetahui melalui membaca koran tentang terjadinya penderitaan. Kepada manusia sebagai homo religius Tuhan telah memberikannya banyak kelebihan dibandingkan dengan mahluk ciptaannya yang lain, tetapi mampukah manusia mengendalikan diri untuk melupakannya? Bagi manusia yang tebal imannya musibah yang dialaminya akan cepat dapat menyadarkan dirinya untuk bertobat kepada-Nya dan bersikap pasrah akan nasib yang ditentukan Tuhan atas dirinya. Kepasrahan karena yakin bahwa kekuasaan Tuhan memang jauh lebih besar dan dirinya, akan membuat manusia merasakan dirinya kecil dan menerima takdir. Dalam kepasrahan demikianlah akan diperoleh suatu kedamaian dalam hatinya, sehingga secara berangsur akan berkurang penderitaan yang dialaminya, untuk akhimya masih dapat bersyukur bahwa Tuhan tidak memberikan cobaan yang lebih berat dari yang dialaminya.
Baik dalam Al Quran maupun kitab suci agama lain banyak surat dan ayat yang menguraikan tentang penderitaan yang dialami oleh manusia atau berisi peringatan bagi manusia akan adanya penderitaan. Tetapi umunya manusia kurang mempethatikan peringatan tersebut, sehingga manusia mengalami penderitaan.
Hal itu misalnya dalam surat Al.Insyiqoq:6 (q) dinyatakan "manusia ialah mahluk yang hidupnya penuh perjuangan. Ayat tersebut harus diartikan, bahwa manusia hams bekerja keras untuk dapat melangsungkan hidupnya. Untuk kelangsungan hidup ini manusia harus menghadapi alam (menaklukan alam), menghadapi masyarakat sekelilingnya, dan tidak bole h lupa untuk taqwa terhadap Tuhan. Apabila manusia melalaikan salah satu darinya, atau kurang sungguh-sungguh menghadapinya, maka akibatnya manusia akan menderita. Bila manusia itu sudah berkeluarga, maka penderitaan juga dialami oleh keluarganya. Penderitaan semacam itu karena kesalahaunya sendiri.
Berbagai kasus penderitaan terdapat dalam kehidupan. Banyaknya macam kasus penderitaan sesuai dengan liku-liku kehidupan manusia. Bagaimana manusia menghadapi penderitaan dalam hidupnya? Penderitaan fisik yang dialami manusia tentulah diatasi secara medis untuk mengurangi atau menyembuhkannya. Sedangkan penderitaan psikis, penyembuhannya terletak pada kemampuan si penderita dalarn menyelesaikan soal-soal psikis yang dihadapinya. Para ahli lebih banyak membantu saja. Sekali lagi semuanya itu merupakan "resiko" karena seseorang mau'hidup. Sehingga enak atau tidak enak, bahagia atau sengsara merupakan dua sisi atau masalah yang wajib diatasi.

6.2. SIKSAAN
A. Pengertian Siksaan
            Siksaan atau penyiksaan (Bahasa Inggris: torture) digunakan untuk merujuk pada penciptaan rasa sakit untuk menghancurkan kekerasan hati korban. Segala tindakan yang menyebabkan penderitaan, baik secara fisik maupun psikologis, yang dengan sengaja dilakukkan terhadap seseorang dengan tujuan intimidasi, balas dendam, hukuman, sadisme, pemaksaan informasi, atau mendapatkan pengakuan palsu untuk propaganda atau tujuan politik dapat disebut sebagai penyiksaan. Siksaan dapat digunakan sebagai suatu cara interogasi untuk mendapatkan pengakuan. Siksaan juga dapat digunakan sebagai metode pemaksaan atau sebagai alat untuk mengendalikan kelompok yang dianggap sebagai ancaman bagi suatu pemerintah. Sepanjang sejarah, siksaan telah juga digunakan sebagai cara untuk memaksakanpindah agama atau cuci otak politik.
Siksaan dapat diartikan sebagai siksaan badan atau jasmani, dan dapat juga berupa siksaan jiwa atau rohani. Akibat siksaan yang dialami seseorang, timbullah penderitaan. Dengan siksaan-siksaan itu Allah akan menganiaya mereka, namun mereka jualah yang menganiaya diri sendiri, karena dosa-dosanya.
Di dalam kitab suci diterangkan jenis dan ancaman siksaan yang dialami manusia di akhirat nanti, yaitu siksaan bagi orang-orang musyrik, syirik, dengki, memfitnah, mencuri, makan harta anak yatim, dan sebagainya. Antara lain, ayat 40 surat Al Ankahut menyatakan :
"masing-masing bangsa itu kami siksa dengan ancaman siksaan, karena dosa-dosanya. Ada diantaranya kami hujani dengan batu-batu kecil seperti kaum Aad, ada yang diganyang dengan halilintar bergemuruh dahsyat seperti kaum Tsamud, ada pula yang kami benamkan ke dalam tanah seperti Qorun, dan ada pula yang kami tenggelamkan seperti kaum Nuh. Dengan siksaan-siksaan itu, Allah tidak akan menganiaya mereka, namun mereka jualah yang menganiaya diri sendiri, karena dosa-dosanya.”
Siksaan yang dialami manusia dalam kehidupan sehari-hari banyak terjadi dan banyak dibaca di berbagai media massa. Bahkan kadang-kadang ditulis di halaman pertama dengan judul huruf besar, dan kadang-kadang disertai gambar si korban. Berita mengenai siksaan kita temui dalam kehidupan sehari-hari, sebuah harian ibukota (pos kota) halaman pertama isinya sebagian besar adalah mengenai siksaan, pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, perampokan, dan sebagainya.
Penyiksaan hampir secara universal telah dianggap sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia, seperti dinyatakan Deklarasi Hak Asasi Manusia. Para penandatangan Konvensi Jenewa Ketiga dan Konvensi Jenewa Keempat telah menyetujui untuk tidak melakukan penyiksaan terhadap orang yang dilindungi (penduduk sipil musuh atau tawanan perang) dalam suatu konflik bersenjata. Penanda tangan UN Convention Against Torture juga telah menyetujui untuk tidak secara sengaja memberikan rasa sakit atau penderitaan pada siapapun, untuk mendapatkan informasi atau pengakuan, menghukum, atau memaksakan sesuatu dari mereka atau orang ketiga. Walaupun demikian, organisasi-organisasi seperti Amnesty International memperkirakan bahwa dua dari tiga negara tidak konsisten mematuhi perjanjian-perjanjian tersebut.

B. Phobia
       Ahli-ahli medis mempunyai pendapat yang berbeda-beda dan banyak penderita yang mempunyai teori tentang asal mula dari ketakutan mereka. Kebanyakan phobianya dimulai dengan sesuatu shock emosional atau suatu tekanan pada waktu tertentu, misalnya pekerjaan baru, kematian dalam keluarga, suatu orperasi atau sakit yang serius.
       Umumnya ada dua aliran tentang penyebab phobia. Ahli-ahli ilmu jiwa cenderung berpendapat bahwa phobia adalah suatu gejala dari suatu problema psikologis yang dalam, yang harus ditemukan, dihadapi, dan ditaklukkan sebelum phobianya akan hilang. Sebaliknya ahli-ahli yang merawat tingkah laku percaya bahwa suatu phobia adalah problemanya dan tidak perlu menemukan sebab- sebabnya supaya mendapatkan perawatan dan pengobatan. Kebanyakan ahli setuju bahwa tekanan dan ketegangan disebabkan oleh karena si penderita hidup dalam keadaan ketakutan terus menerus, membuat keadaan si penderita sepuluh kali lebih parah.

C. 3 Siksaan Yang Bersifat Psikis
Siksaan yang sifatnya Psikis misalnya kebimbangan, kesepian dan ketakutan.
a. Kebimbangan : dialami oleh seseorang bila ia pada suatu saat tidak dapat menentukan pilihan mana yang akan diambil. Misalnya pada suatu saat apakah seseorang yang bimbang itu pergi atau tidak. Akibat dari kebimbangan seseorang berada dalam keadaan yang tidak menentu, sehingga ia merasa tersiksa dalam hidupnya saat itu. Bagi orang yang lemah berpikirnya, masalah kebimbangan akan lama dialami, sehingga siksaan itu berkepanjangan. Tetapi bagi orang yang kuat berpikirnya ia akan cepat mengambil suatu keputuan, sehingga kebimbangan akan cepat dapat diatasi. Siksaan ini terjadi ketika manusia sulit untuk menentukan pilihan yang mana akan meraka ambil dan mereka tidak ambil. Situasi ini sangat membuat psikis manusia tidak stabil dan butuh pertimbangan yang amat sangat sulit.
b. Kesepian : dialami oleh seseorang merupakan rasa sepi dalam dirinya atau jiwanya, walaupun ia dalam lingkungan orang ramai, kesepian ini tidak boleh dicampur adukkan dengan keadaan sepi seperti yang  dialami oleh petapa atau biarawan yang tinggalnya ditempat yang sepi. Tempat mereka memang sepi tetapi hati mereka tidak sepi. Kesepian juga merupakan salah satu wujud dari siksaan yang dialami seseorang. Kesepian merupakan perasaan sepi yang amat sangat tidak diinginkan oleh setiap manusia. Pada hakikatnya manusia itu adalah makhluk yang bersosial, hidup bersama dan tidak hidup seorang diri.Faktor ini dapat mengakibatkan depresi kejiwaan yang berat dan merupakan siksaan paling mendalam yang menimpa rohani manusia
c. Ketakutan : merupakan bentuk lain yang dapat menyebabkan seseorang mengalami siksaan batin. Bila rasa takut itu dibesar-besarkan yang tidak pada tempatnya, maka disebut sebagai phobia. Pada umumnya orang yang memiliki satu atau lebih phobia ringan seperti takut pada tikus, ular, serangga dan lain sebagainya. Tetapi pada sementara orang ketakutan itu sedemikian hebatnya sehingga sangat mengganggu. Seperti pada kesepian, ketakutan dapat juga timbul atau dialami seseorang walaupun lingkungannya ramai, sebab ketakutan adalah hal yang bersifat psikis. Ketakutan adalah suatu reaksi psikis emosional terhadap sesuatu yang ditakuti oleh manusia. Rasa takut ini dapat menimbulkan traumatik yang amat mendalam. Dampaknya manusia bisa kehilangan akal pikirannya dan membuat manusia berkejatuhan mental.

D. Penyebab Seseorang Merasa Ketakutan
Banyak sebab yang menjadikan seseorang merasa ketakutan, antara lain:
a.) Claustrophobia dan Agoraphobia, claustrophobia adalah rasa takut terhadap ruangan tertutup, sedangkan agoraphobia adalah rasa takut yang disebabkan seseorang berada di tempat terbuka.
b.) Gamang merupakan ketakutan bila seseorang di tampat yang tinggi. Misalnya seseorang harus melewati jembatan yang sempi, sedangkan dibawahnya ada air yang mengalir, atau seseorang takut meniti dinding tembok dibawahnya.
c.) Kegelapan merupakan suatu ketakutan seseorang bila ia berada di tempat yang gelap. Sebab dalam pikirannya dalam kegelapan demikian akan muncul sesuatu yang ditakuti, misalnya setan, pencuri dan lain-lain. Orang yang demikian menghendaki agar ruangan tempat tidur selalu dinyalakan lampu yang terang.
d.) Kesakitan merupakan ketakutan yang disebabkan oleh rasa sakit yang akan dialami. Seseorang yang takut diinjeksi sudah berteriak-teriak sebelum jarum injeksi ditusukkan ke dalam tubuhnya. Hal itu disebabkan karena dalam pikirannya semuanya akan menimbulkan rasa sakit.
e.) Kegagalan merupakan dari seseorang disebabkan karena merasa bahwa apa yang akan dijalankan mengalami kegagalan. Seseorang yang patah hati tidak mudah untuk bercinta kembali, karena takut dalam percintaan berikutnya juga akan terjadi kegagalan, trauma yang pernah dialaminya telah menjadikan dirinya ketakutan kalau sampai terulang lagi.

6.3. KEKALUTAN MENTAL
A. Pengertian Kekalutan Mental
            Penderitaan batin dalam ilmu psikologi dikenal sebagai kekalutan mental. Secara lebih sederhana kekalutan mental adalah gangguan kejiwaan akibat ketidakmampuan seseorang menghadapi persoalan yang harus diatasi sehingga yang bersangkutan bertingkah laku secara kurang wajar.
Kekalutan mental memiliki arti dimana seorang individu merasakan ketakutan yang berlebihan atau bisa dibilang phobia. Hal ini bisa disebabkan karena trauma yang mendalam atau sugesti yang berlebihan dari diri kita masing-masing.
Mental seorang manusia itu sebagian besar diciptakan dari pikiran manusia itu sendiri. Jadi apabila kita memiliki ketakutan yang berlebihan pada sesuatu maka hal itu akan terbawa dampaknya pada mental kita. Sehingga menyebabkan ketakutan mental. Selain itu ketakutan mental juga bisa disebabkan karena kita mengalami trauma, dimana trauma tersebut sangat berpengaruh besar pada hidup kita. Sehingga rasa takut pada diri kita sulit untuk dihilangkan dan mengakibatkan ketakutan mental.
Maka dari itu kekalutan mental kebanyakan disebabkan oleh diri kita sendiri dan juga orang lain. Akan tetapi hal tersebut bisa dihindari apabila kita memiliki keberanian yang lebih besar dari rasa takut kita. Jangan lemah dan jangan mau kalah terhadap ketakutan pada diri kita sendiri.

B. Gejala Seseorang Ketakutan Mental
Gejala-gejala permulaan pada orang yang mengalami ketakutan mental adalah sebagai berikut:

  • Nampak pada jasmani yang sering merasakan pusing, sesak napas, demam, nyeri pada lambung.

  • Nampak pada kejiwaannya dengan rasa cemas, ketakutan, patah hati, apatis, cemburu, mudah marah.


C. Tahap-Tahap Gangguan Jiwa
Terdapat tiga tahapan seseorang mengalami gangguan jiwa, yaitu:
• Gangguan kejiwaan nampak dalam gejala-gejala kehidupan si penderita baik jasmani maupun rohaninya.
• Usaha mempertahankan diri dengan cara negatif, yaitu mundur atau lari, sehingga cara bertahan dirinya salah, pada orang yang tidak menderita gangguan kejiwaan bila menghadapi persoalan justru cepat memecahkan problemnya, sehingga tidak menekan perasaannya. Jadi bukan melarikan diri dari persoalan, tetapi melawan atau memecahkan persoalan.
• Kekalutan merupakan titik patah (mental breakdown) dan yang bersangkutan mengalami gangguan.

D. Sebab-Sebab Timbulnya Kekalutan Mental
Kekalutan mental yang dapat di alami oleh seseorang disebabkan oleh berbagai faktor yang ada disekitarnya, dalam hal ini termasuk faktor-faktor internal atau dari dalam orang itu sendiri maupun faktor eksternal atau hal-hal yang ada di lingkungan sekitarnya, keduanya mengacu kepada konflik dan cara seseorang tersebut menyelesaikan konflik atau masalahnya. Berikut sebab-sebabnya:
a. Kepribadian yang lemah akibat kondisi jasmani atau mental yang kurang sempurna. Hal-hal tersebut sering menyebabkan yang bersangkutan merasa rendah diri, yang secara berangsur-angsur akan menyudutkan kedudukannya dan menghancurkan mentalnya. Hal ini banyak terjadi pada orang-orang melankolis.
b. Terjadinya konflik sosial-budaya akibat adanya norma yang berbeda antara yang bersangkutan dan apa yang ada dalam masyarakat, sehingga ia tidak dapat menyesuaikan diri lagi, misalnya orang dari pedesaaan yang telah mapan sulit menerima keadaan baru yang jauh berbeda dari masa lalunya yang jaya.
c. Cara pematangan bathin yang salah dengan memberikan reaksi berlebihan terhadap kehidupan sosial; overacting sebagai overkompensasi dan tampak emosional. Sebaliknya ada yang underacting sebagai rasa rendah diri yang lari ke alam fantasi.

E. Proses-Proses Kekalutan Mental
Proses kekalutan mental yang dialami seseorang mendorongnya kearah positif dan negative. a. Positif: trauma (luka jiwa) yang dialami dijawab secara baik sebagai usaha agar tetap survive dalam hidup, misalnya melakukan sholat tahajut, ataupun melakukan kegiatan yang positif setelah kejatuhan dalam hidupnya.
b. Negatif: trauma yang dialami diperlarutkan atau diperturutkan, sehingga yang bersangkutan  mengalami fustasi, yaitu tekanan batin akibat tidak tercapainya apa yang diinginkan.  Bentuk-Bentuk fustasi, antara lain :

  • Agresi berupa kamarahan yang meluap-luap akibat emosi yang tak terkendali dan secara fisik berakibat mudah terjadi Hypertensi atau tindakan sadis yang dapat membahayakan orang sekitarnya.

  • Regresi adalah kembali pada pola perilaku yang primitive atau kekanak-kanakan. Misalnya dengan menjerit-jerit, menangis sampai meraung-raung, memecahkan barang dan lain-lain.

  • Fiksasi adalah peletakan atau pembatasan pada satu pola yang sama (tetap) misalnya dengan membisu, memukul-mukul dada sendiri, membentur-benturkan kepala pada benda keras.

  • Proyeksi merupakan usaha melemparkan atau memproyeksikan kelemahan dan sikap-sikap sendiri yang negative kepada orang lain.

  • Identifikasi adalah menyamakan diri dengan seseorang yang sukses dalam imaginasinya. Misalnya dalam kecantikan yang bersangkutan menyamakan diri dengan bintang film, dalam soal harta kekayaan dengan pengusaha kaya yang sukses.

  • Narsisme adalah self love yang berlebihan sehingga yang bersangkutan merasa dirinya lebih superior daripada orang lain.

  • Autisme ialah menutup diri secara total dari dunia riil, tidak mau berkomunikasi dengan orang lain, ia puas dengan fantasinya sendiri yang dapat menjurus ke sifat yang sinting.


6.4. PENDERITAAN DAN PERJUANGAN
A. Hubungan Antara Penderitaan Dan Perjuangan
         Setiap manusia pasti mengalami penderitaan, baik berat ataupun ringan. Penderitaan dikatakan sebagai kodrat manusia, artinya sudah menjadi konsekuensi manusia hidup, bahwa manusia hidup ditakdiran bukan hannya untuk bahagia, melainkan juga menderita. Pembebasan dari penderitaan pada hakekatnya meneruskan kelangsungan hidup.
       Apabila kita memperhatikan dan membaca riwayat hidup para pemimpin bangsa, orang-orang di dunia, sebagian dari kehidupannya dilalui dengan penderitaan dan penuh perjuangan. Manusia adalah mahluk berbudaya dengan budayanya itu ia berusaha mengatasi penderitaan yang mengancam atau dialaminya. Hal ini membuat manusia itu kreatif, baik bagi penderita sendiri maupun bagi orang lain yang melihat atau mengamati penderitaan.
        Pembebasan dari penderitaan pada hakekatnya meneruskan kelangsungan hidup. Caranya ialah berjuang menghadapi tantangan hidup dalam alam lingkungan, masyarakat sekitar, dengan waspada, dan disertai doa kepada Tuhan supaya terhindar dari bahaya dan malapetaka.Manusia hanya merencanakan dan Tuahan yang menentukan. Kelalaian manusia merupakan sumber malapetaka yang menimbulkan penderitaaan. Penderitaan yang terjadi selain dialami sendiri oleh yang bersangkutan, mungkin juga dialami oleh orang lain. Bahkan mungkin terjadi akibat perbuatan atau kelalaian seseorang, orang lain atau masyarakat menderita.

6.5. PENDERITAAN, MEDIA MASA DAN SENIMAN
A. Hubungan Antara Penderitaan, Media Masa Dan Seniman
Bagi media masa dan seniman penderitaan dibuat melalui karya sastra yang dapat dikomunikasikan kepada masyarakat sehingga ikut merasakan penderiaan tersebut. Dalam dunia modern sekarang ini kemungkinan terjadi penderitaan itu lebih besar. Hal ini telah dibuktikan oleh kemajuan teknologi dan sebagainya. Penderitaan yang terjadi di seluruh dunia merupakan salahs atu obyek sasaran media massa untuk membuat berita,kemudian akan sampai ke seluruh penjuru masyarakat termasukpara seniman yang kemudian akan mengapresiasikan rasasimpatinya melalui karya seni.
Mensejahterakan manusia dan sebagian lainnya membuat manusia. Penciptaan bom atom, reaktor nuklir, pabrik senjata, peluru kendali, pabrik bahan kimia merupakan sumber peluang terjadinya penderitaan manusia. Hal ini sudah terjadi seperti bom atom di Hirosyima dan Nagasaki, kebocoran reaktor nuklir di Unisovyet, kebocoran gas beracun di India. Penggunaan peluru kendali dalam perang Irak.
Beberapa sebab lain yang menimbulkan penderitaan manusia ialah kecelakaan, bencana alam, bencana perang dan lain-lain. Contohnya ialah tenggelamnya kapal Tampomas Dua di perairan Masalembo, jatuhnya pesawat hercules yang mengangkut para perwira muda di Condet, meletusnya gunung Galunggung, perang Irak dan Iran.
Berita mengenai penderitaan manusia silih berganti mengisi lembaran koran, layar TV, pesawat radio, dengan maksud supaya semua orang yang menyaksikan ikut merasakan dari jauh penderitaan manusia. Dengan demikiaan dapat menggugah hati manusia untuk berbuat sesuatu. Nyatanya tidak sedikit bantuan dari para dermawan dan sukarelawan berupa material atau tenaga untuk meringankan penderitaan dan penyelamatan mereka dari musibah ini. Bantuan-bantuan ini dilakukan secara perseorangan ataupun melalui organisasi-organisasi sosial, kemudian dikirimkan atau diantarkan langsung ke tempat-tempat kejadian dan tempat-tempat pengungsian.
Media masa merupakan alat yang paling tepat untuk mengkomunikasikan peristiwa-peristiwa penderitaan manusia secara cepat kepada masyarakat. Dengan demikian masyarakat dapat segera menilai untuk menentukan sikap antara sesama manusia terutama bagi yang merasa simpati. Tetapi tidak kalah pentingnya komunikasi yang dilakukan para seniman melalui karya seni, sehingga para pembaca, penontonnya dapat menghayati penderitaan sekaligus keindahan karya seni. Sebagai contoh bagaimana penderitaan anak yang bernama Arie Hanggara yang mati akibat siksaan orang tuanya sendiri yang difilmkan dengan judul Arie Hanggara.

6.6. PENDERITAAN DAN SEBAB-SEBABNYA
A. Sebab-Sebab Timbulnya Penderitaan
Apabila dikelompokkan secara sederhana berdasarkan sebab – sebab timbulnya penderitaan, maka penderitaan manusia dapat diperinci sebagai berikut:
a. Penderitaan yang timbul karena perbuatan buruk manusia
Penderitaan yang menimpa manusia karena perbuatan buruk manusia dapat terjadi dalam hubungan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Penderitaan ini terkadang disebut nasib buruk. Nasib buruk tersebut dapat berubah menjadi baik. Dengan kata lain manusia itu sendirilah yang dapat memperbaiki nasibnya. Tuhan yang menentukan sedangkan nasib buruk itu manusia penyebabnya. Perbuatan manusia terhadap lingkungannya juga menyebabkan penderitaan manusia. Tetapi kadang manusia itu sendiri tidak menyadarinya, contohnya kita membuang sampah sembarangan sehingga menyebabkan banjir.
Karena perbuatan buruk antara sesama manusia menyebabkan menderitanya manusia yang lain, contohnya :
(1) Pembantu rumah tangga yang diperkosa, disekap, dan disiksa oleh majikannya, sudah pantas jika majikannya yang biadab itu diganjar dengan hukuman penjara oleh pengadilan negeri Surabaya supaya perbuatannya itu dapat diperbaiki sekaligus merasakan penderitaan yang telah ia berikan kepada orang lain. Sedangkan pembantu yang telah menderita itu dipulihkan.
(2) Perbuatan buruk orang tua Arie Hanggara yang menganiaya anak kandungnya sendiri sampai mengakibatkan kematian, sudah pantas jika dijatuhkan hukuman oleh pengadilan Negeri Jakarta Pusat supaya perbuatannya itu dapat diperbaiki dan sekaligus merasakan penderitaan anaknya.
(3) Perbuatan buruk para pejabat pada zaman orde lama dituliskan oleh seniman Rendra dalam puisinya “bersatulah pelacur – pelacur kota Jakarta”, perbuatan buruk yang merendahkan derajad kaum wanita tidak lebih dari pemuas nafsu seksual. Kaya Rendra ini dipandang sebagai salah satu usaha memperbaiki nasib buruk itu dengan mengkomunikasikannya kepada masyarakat termasuk pejabat dan pelacur ibu kota itu.
Perbuatan buruk manusia terhadap lingkungannya pun dapat menimbulkan bagi penderitaan bagi manusia yang lainnya. Tetapi kebanyakan manusia tidak menyadari karena perbuatannya lah yang menimbulkan penderitaan pada manusia yang lainnya. Kebanyakan manusia baru menyadari kesalahannya ketika bencana yang menimbulkan penderitaan bagi manusia yang lainnya itu sudah terjadi. Contohnya adalah sebagai berikut:
(1) Musibah banjir dan tanah longsor di lampung selatan bermula dari penghunian liar di hutan lindung, kemudian dibabat menjadi lahan tandus dan gundul oleh manusia – manusia penghuni liar itu. Akibatnya beberapa jiwa jadi korban banjir, ratusan rumah hancur, belum terhitung lagi jumlah ternak dan harta benda yang hilang / musnah. Segenap lapisan masyarakat, pemerintah dan ABRI bekerja sama untuk membebaskan para korban dari penderitaan yang mereka derita itu.
(2) Perbuatan Lalai, mungkin kurang control terhadap tangki – tangki penyimpanan gas – gas beracun dari perusahaan “Union Carbide” di India. Gas – gas beracun dari tangki penyimpanan bocor memenuhi dan mengotori daerah sekitarnya, mengakibatkan ribuan penduduk penghuni daerah itu mati lemas, dan cacat fisik. Inilah penderitaan manusia karena perbuatan lalai dari pekerjaan atau pimpinan perusahaan itu. Ia bertanggung jawab untuk memulihkan penderitaan manusia disitu.

b. Penderitaan yang timbul karena penyakit, siksaan / azab Tuhan
Penderitaan manusia dapat juga terjadi akibat penyakit atau siksaan / azab Tuhan. Namun kesabaran, tawakal, dan optimisme dapat merupakan usaha manusia untuk mengatasi penderitaan itu. Banyak contoh kasus penderitaan semacam ini dialami manusia. Bebebrapa kasus penderitaan dapat diungkapkan berikut ini :
(1) Seorang anak lelaki buta sejak diahirkan, diasuh dengan tabah oleh orang tuanya. Ia disekolahkan, kecerdasannya luar biasa. Walaupun ia tidak dapat melihat dengan mata hatinya terang benderang. Karena kecerdasannya, ia memperoleh pendidikan sampai di universitas, dan akhirnya memperoleh gelar doctor di Universitas Sourbone Perancis. Dia adalah Prof.Dr. Thaha Husen, guru besar Universitas di Kairo, Mesir.
(2) Nabi Ayub mengalami siksaan Tuhan, tetapi dengan sabar ia menerima cobaan ini. Bertahun – tahun ia menderita penyakit kulit, sehingga istrinya bosan merawatnya, dan ia dikucilkan. Berkat kesabarannya dan kepasrahannya kepada Tuha, maka seiring berjalannya waktu Nabi Ayub pun sebuh dan tampak lebih muda, sehingga istrinya tidak mengenalinnya lagi. Disini kita dihadapkan kepada masalah sikap hidup kesetiaan, kesabaran, tawakal, percaya, pasrah, tetapi juga sikap hidup yang lemah, seperti kesetiaan dan kesabaran sang istri yang luntur, karena penyakit Nabi Ayub yang cukup lama.
(3) Tenggelamnya Fir’aun di laut merah seperti disevutkan dalam Al – Qur’an adalah azab yang dijatuhkan Tuhan kepada orang yang angkuh dan sombong. Fir’aun adalah raja mesir yang mengaku dirinya Tuhan. Ketika Fir’aun bersama bala tentaranya mengejar nabi Musa dan para pengikutya menyeberangi laut merah, laut itu terbelah dan Nabi Musa serta para pengikutnya berhasil melewatinya. Ketika Fir’aun dan tentaranya berada tepat ditengah belahan laut merah itu, seketika juga laut merah itu tertutup lagi dan mereka semua tenggelam.

  
6.7.  PENGARUH PENDERITAAN
A. Pengaruh Yang Akan Terjadi Pada Seseorang Jika Mengalami Penderitaan
Seseorang yang mengalami penderitaan biasanya akan menimbulkan sikap yang kurang wajar atau negatif, karena pada saat seseorang terkena suatu musibah mereka menganggap bahwa ini adalah suatu hal yang tidak mereka kehendaki atau inginkan sikap yang timbul biasanya keputusasaan, kecewa, marah, menyesal dan lain-lain. Selain itu seseorang juga dapat menjadi pribadi yang kurang baik dilingkungannya karena pengaruh-pengaruh tehadap dirinya yang kurang baik disaat dia mengalami suatu musibah.
Orang yang mengalami penderitaan mungkin akan memperoleh pengaruh bermacam-macam dan sikap dalam dirinya. Sikap yang timbul dapat berupa sikap positif ataupun sikap negatif. Sikap negatif misalnya penyesalan karena tidak bahagia, sikap kecewa, putus asa, ingin bunuh diri. Sikap ini diungkapkan dalam peribahasa "sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna", "nasi sudah menjadi bubur". Kelanjutan dari sikap negatif ini dapat timbul sikap anti, misalnya anti kawin atau tidak mau kawin, tidak punya gairah hidup.
Sikap positif yaitu sikap optimis mengatasi penderitaan hidup, bahwa hidup bukan rangkaian penderitaan, melainkan perjuangan membebaskan diri dan penderitaan, dan penderitaan itu adalah hanya bagian dan kehidupan. Sikap positif biasanya kreatif, tidak mudah menyerah, bahkan mungkin timbul sikap keras atau sikap anti, misalnya anti kawin paksa, ia berjuang menentang kawin paksa; anti ibu tiri, ia berjuang melawan sikap ibu tiri; anti kekerasan, ia berjuang menentang kekerasan, dan lain-lain.
Depresi juga salah satu pengaruh dari penderitaan, karena begitu banyak sekali tekanan-tekanan yang menuju kepada seseorang saat terkena musibah misalnya seseorang yang dipecat dari perusahaanya tempat dia bekerja sudah pasti orang tersebut mengalami tekanan yang sangat berat karena tidak bisa memberikan nafkah lagi bagi sang istri, orang yang depresi cenderung untuk tidak ingin melakukan kegiatan seperti biasanya karena sudah dilingkupi keputusasaan yang begitu besar. Orang-orang disekitarnyalah yang dapat membangkitkan semangatnya disamping selalu berserah diri dan selalu berdoa.
Selain sikap yang negatif ada juga sikap yang positif yang akan ditimbulkan dari pengaruh penderitaan misalnya apabila seseorang mendapatkan suatu cobaan yang berat orang tersebut malah bersyukur karena itu mungkin peringatan atau teguran dari Tuhan yang maha esa terhadap dirinya dan itu dapat menjadi ajang instropeksi diri apa saja selama ini yang kita perbuat sudah sesuai dengan perintahNya atau belum. Sesungguhnya apa yang terjadi di muka bumi ini mencerminkan dari mahkluk hidup yang ada di bumi apakah mereka sudah melaksanakan perintahNya dan menjauhi segala larangan-Nya.



DAFTAR PUSTAKA