Sabtu, 14 Januari 2017

TUGAS KE-4 PSIKOLOGI MANAJEMEN



I.            EMPOWERMENT, STRES & KONFLIK
A.    Pengertian Empowerment
Empowerment yang dalam bahasa Indonesia berarti “pemberdayaan”, adalah sebuah konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran masyarakat kebudayaan Barat, utamanya Eropa. Memahami konsep empowerment secara tepat harus memahami latar belakang kontekstual yang melahirkannya. Konsep empowerment mulai nampak sekitar dekade 70-an dan terus berkembang hingga 1990-an. (Pranarka & Vidhyandika,1996).
Definisi pemberdayaan dalam arti sempit, yang berkaitan dengan sistem pengajaran antara lain dikemukakan oleh Merriam Webster dan Oxford English Dictionary kata “empower” mengandung dua arti. Pengertian pertama adalah to give power of authority dan pengertian kedua berarti to give ability to or enable. Dalam pengertian pertama diartikan sebagai memberi kekuasaan, mengalihkan kekuasaan, atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain. Sedangkan, dalam pengertian kedua, diartikan sebagai upaya untuk memberikan kemampuan atau keberdayaan.
Robinson (1994) menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses pribadi dan sosial; suatu pembebasan kemampuan pribadi, kompetensi, kreatifitas dan kebebasan bertindak. Ife (1995) mengemukakan bahwa pemberdayaan mengacu   pada kata “empowerment,” yang berarti memberi daya, memberi “power” (kuasa),  kekuatan, kepada pihak yang kurang berdaya. Segala potensi yang dimiliki oleh  pihak yang kurang berdaya itu ditumbuhkan, diaktifkan, dikembangkan sehingga  mereka memiliki kekuatan untuk membangun dirinya. Payne (1997) menjelaskan  bahwa pemberdayaan pada hakekatnya bertujuan untuk membantu klien mendapatkan daya, kekuatan dan kemampuan untuk mengambil keputusan dan tindakan yang akan dilakukan dan berhubungan dengan diri klien tersebut,   termasuk mengurangi kendala pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan.
Paul (1987) menyatakan bahwa pemberdayaan berarti pembagian kekuasaan yang adil sehingga meningkatkan kesadaran politis kekuasaan kelompok yang  lemah serta memperbesar pengaruh mereka terhadap proses dan hasil-hasil  pembangunan. Rappaport (1987) mengatakan bahwa pemberdayaan diartikan   sebagai pemahaman secara psikologis pengaruh kontrol individu terhadap keadaan  sosial, kekuatan politik dan hak-haknya. MacArdle (1989) mengartikan  pemberdayaan sebagai proses pengambilan keputusan oleh orang-orang secara  konsekuen melaksanakan keputusan itu. Orang-orang yang telah mencapai tujuan  kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan merupakan “keharusan”  untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan, ketrampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan tanpa tergantung pada pertolongan dari hubungan eksternal.
Sulistiyani (2004) menjelaskan lebih rinci bahwa secara etimologis pemberdayaan berasal dari kata dasar "daya" yang berarti kekuatan atau kemampuan. Bertolak dari pengertian tersebut, maka pemberdayaan dimaknai  sebagai proses untuk memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan, dan  atau  proses pemberian daya, kekuatan atau kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya. Berdasarkan beberapa pengertian pemberdayaan   yang   dikemukakan   tersebut,   maka   dapat   disimpulkan   bahwa   pada  hakekatnya  pemberdayaan adalah suatu proses dan upaya untuk memperoleh atau memberikan daya, kekuatan atau kemampuan kepada individu dan masyarakat lemah agar dapat mengidentifikasi, menganalisis, menetapkan kebutuhan dan potensi serta masalah yang dihadapi dan sekaligus memilih alternatif pemecahnya dengan mengoptimalkan sumberdaya dan potensi yang dimiliki secara mandiri. 

B.     Pengertian Stres
Stres berasal dari bahasa Latin “stingere” yang berarti keras (stictus), yang pada akhirnya istilah itu berkembang terus menjadi stres (Cox, 1978). Pada abad 17, istilah stres diartikan sebagai kesukaran, kesulitan, atau penderitaan. Selanjutnya pada abad 18, stres digunakan untuk menunjukkan kekuatan, tekanan, ketegangan atau usaha yang keras yang ditunjukkan pada benda-benda atau manusia, terutama untuk kekuatan mental atau organ manusia (Cooper, Cooper & Eaher, 1988).
Lazarus dan Folkman (1984) stres psikologis adalah sebuah hubungan antara individu dengan lingkungan yang dinilai oleh individu tersebut sebagai hal yang membebani atau sangat melampaui kemampuan seseorang dan membahayakan kesejahteraannya. Menurut Fieldman (1989) stress adalah suatu proses yang menilai suatu peristiwa sebagai sesuatu yang mengancam, menantang, ataupun membahayakan dan individu merespon peristiwa itu pada level fisiologis, emosional, kognitif dan perilaku. Peristiwa yang memunculkan stress dapat saja positif, misalnya merencanakan perkawinan atau negatif, misalnya kematian keluarga. Sesuatu didefinisikan sebagai peristiwa yang menekan (stressfull event) atau tidak, bergantung pada respon yang diberikan oleh individu.
Menurut Hans Selye dalam bukunya Hawari (2001) stres adalah respon tubuh yang sifatnya nonspesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya. Bila seseorang telah mengalami stres mengalami gangguan pada satu atau lebih organ tubuh sehingga yang bersangkutan tidak lagi dapat menjelaskan fungsi pekerjaannya dengan baik, maka ia disebut distres. Pada gejala stres, gejala yang dikeluhkan penderita didominasi oleh keluhan-keluhan somatik (fisik), tetapi dapat pula disertai keluhan-keluhan psikis. Tidak semua bentuk stres mempunyai konotasi negatif, cukup banyak yang bersifat positif, hal tersebut dikatakan eustres. Stress adalah suatu tuntutan yang mendorong organisme untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri. Sedangkan stressor adalah suatu sumber stres.
Sarafino (1994) mendefinisikan stres adalah kondisi yang disebabkan oleh interaksi  antara  individu  dengan  lingkungan,  menimbulkan  persepsi  jarak antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi yang bersumber pada sistem biologis,  psikologis  dan  sosial  dari  seseorang.  Stres adalah  tekanan  internal maupun  eksternal  serta  kondisi  bermasalah  lainnya  dalam  kehidupan (an internal  and  eksternal  pressure  and  other  troublesome  condition  in  life).

Sumber-sumber Stres
Untuk lebih memahami stres, maka perlu dikenali terlebih dahulu penyebab stres yang biasa disebut dengan istilah stressor. Stressor adalah semua kondisi stimulasi yang berbahaya dan menghasilkan reaksi stres, misalnya jumlah semua respons fisiologik nonspesifik yang menyebabkan kerusakan dalam sistem biologis.
Menurut Nasution (2007) berdasarkan penyebabnya, stressor dibagi menjadi 3 kategori yaitu fisik, psikologis,  dan  sosial. Stressor fisik  adalah stressor yang berasal dari luar individu, seperti suara, polusi, radiasi, suhu udara, makanan, zat kimia, trauma, dan latihan fisik yang terpaksa. Sedangkan pada stressor psikologis, sumber stres berasal dari tekanan dari dalam diri individu yang bersifat negatif seperti frustasi, kecemasan  (anxiety),  rasa  bersalah,  khawatir  berlebihan,  marah,  benci,  sedih, cemburu, rasa kasihan pada diri sendiri, serta rasa rendah diri. Dan stressor sosial adalah stressor yang  bersifat  traumatik  yang  tak  dapat  dihindari,  seperti kehilangan orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, pensiun, perceraian, masalah keuangan, dan lain-lain.
Lazarus dan Cohen (1979) mengidentifikasikan kategori dari stressor, yaitu:
1.   Cataclysmic Stresssor, istilah ini mengacu pada perubahan besar atau kejadian yang berdampak yang beberapa orang atau seluruh komunitas dalam waktu yang sama, serta diluar kendali siapapun. Contohnya bencana alam (gempa bumi, badai), perang, dipenjara dan sebagainya. Pada stressor, individu seringkali menemukan banyak dukungan dan sumber daya yang dapat digunakan untuk membandingkan perilaku dari orang lain.
2.   Personal Stresssor, yaitu stressor yang memengaruhi secara individual. Stressor ini dapat atau tidak dapat diprediksi, akan tetapi memiliki pengaruh yang kuat dan membutuhkan upaya coping yang cukup besar dari seseorang seperti menderita penyakit yang mematikan, dipecat, bercerai, kematian orang yang dicintai, dan sebagainya. Stressor ini seringkali lebih sulit ditanggulangi daripada cataclysmic stresssor karena kurangnya dukungan dari individu lain yang memiliki nasib yang sama.
3.  Background Stresssor, yaitu stressor yang merupakan “masalah sehari-hari” dalam kehidupan. Stressor ini berdampak kecil namun berlangsung terus-menerus, sehingga dapat mengganggu dan menimbulkan stres negatif pada individu seperti contohnya mempunyai banyak tanggung jawab, merasa kesepian, beradu argumen dengan pasangan, dan sebagainya. Walaupun masalah sehari-hari tidak seberat perubahan besar dalam hidup seperti perceraian, kemampuan untuk bisa beradaptasi dengan masalah sehari-hari tersebut menjadi sangat penting dan hal ini juga berkaitan dengan masalah kesehatan.
Lazarus (1976) membagi stres ke dalam beberapa sumber, yaitu:
1.    Frustasi, yang akan muncul apabila usaha yang dilakukan individu untuk mencapai suatu tujuan mendapat hambatan atau kegagalan. Hambatan ini dapat bersumber dari lingkungan maupun dari dalam diri individu itu sendiri.
2.    Konflik, stress akan muncul apabila individu dihadapkan pada keharusan memilih satu di antara dua dorongan atau kebutuhan yang berlawanan atau yang terdapat pada saat yang bersamaan.
3.    Tekanan, stress juga akan muncul apabila individu mendapat tekanan atau paksaan untuk mencapai hasil tertentu dengan cara tertentu. Sumber tekanan dapat berasal dari lingkungan maupun dari dalam diri individu yang bersangkutan.
4.   Ancaman, antisipasi individu terhadap hal-hal atau situasi yang merugikan atau tidak menyenangkan bagi dirinya juga merupakan suatu yang dapat memunculkan stres.
Menurut Girdano (2005), terdapat tiga jenis sumber stres yaitu faktor psikososial, bioekologikal, dan personal:
1.   Stres psikososial (Psychosocial Stress), ialah  stres  yang  disebabkan  oleh  tekanan  dari  segi hubungan dengan kondisi sosial di sekitar. Hal-hal  yang dapat menimbulkan  stres  secara  psikososial  ialah  perubahan  dalam  hidup  misalnya  berada  di lingkungan  baru,  diskriminasi,  terjerat  kasus  hukum,  atau  karena  kondisi ekonomi.
2.     Stres bioekologikal (Bioecological Stress), terdiri atas dua sumber stres yaitu ecological stress (stres yang disebabkan oleh kondisi lingkungan) dan biological stress (stres yang disebabkan oleh kondisi fisik tubuh).
3.    Stres kepribadian (Personality Stress), ialah stres yang disebabkan oleh permasalahan yang dialami dalam diri sendiri.

C.    Pengertian Konflik
Istilah “konflik” secara etimologis berasal dari bahasa Latin  con” yang berarti bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan. Pada umumnya istilah konflik sosial mengandung suatu rangkaian fenomena pertentangan dan pertikaian antar pribadi melalui dari konflik kelas sampai pada pertentangan dan peperangan internasional. Menurut Stoner dan Wankel, (1998) bahwa konflik  organisasi adalah suatu perbedaan pendapat diantara dua atau lebih anggota atau  kelompok dalam suatu organisasi yang muncul dari kenyataan bahwa mereka harus  membagi sumber daya yang langka atau aktivitas kerja atau dari kenyataan bahwa  mereka mempunyai status, tujuan, nilai, atau pandangan yang berbeda. Para anggota  organisasi atau sub unit yang berbeda pendapat berupaya untuk memenangkan kepen tingan atau pandangannya masing-masing.
Coser mendefinisikan konflik sosial sebagai suatu perjuangan terhadap nilai  dan pengakuan terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan dinetralisir atau dilangsungkan atau dieliminir saingannya. Menurut Lawang, konflik diartikan sebagai perjuangan untuk memperoleh hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan dan sebagainya dimana tujuan mereka berkonflik itu tidak hanya memperoleh keuntungan tetapi juga untuk menundukkan  pesaingnya. Konflik dapat diartikan sebagai benturan kekuatan dan kepentingan   antara satu kelompok dengan kelompok lain dalam proses perebutan sumber-sumber kemasyarakatan (ekonomi, politik, sosial dan budaya) yang relatif terbatas.
Secara umum Degenova (2008) mengatakan bahwa konflik merupakan hal yang normal terjadi pada setiap hubungan, dimana dua orang tidak pernah selalu setuju pada suatu keputusan yang dibuat. Lewin (dalam Lindzey & Hall, 1985) menyatakan bahwa konflik adalah keadaan dimana dorongan-dorongan di dalam diri seseorang berlawanan arah dan hampir sama kekuatannya. Weiten (2004)  mendefenisikan konflik sebagai keadaan ketika dua atau lebih motivasi atau  dorongan berperilaku yang tidak sejalan harus diekspresikan secara bersamaan. Hal  ini sejalan dengan defenisi yang diuraikan oleh Plotnik (2005) bahwa konflik  sebagai perasaan yang dialami ketika individu harus memilih antara dua atau lebih pilihan yang tidak sejalan. 
Menurut Hugh Miall (2002) bahwa konflik adalah aspek intrinsik dan tidak  mungkin dihindarkan dalam perubahan sosial serta sebuah ekspresi heteregonitas kepentingan, nilai, dan keyakinan yang muncul sebagai formasi baru yang penting ditimbulkan oleh perubahan sosial yang muncul bertentangan dengan hambatan  yang diwariskan. Menurut Leopod Von Wiese (1987) bahwa konflik adalah suatu proses sosial dimana orang perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi apa yang menjadi tujuannya dengan jalan menentang pihak lain disertai  dengan ancaman dan kekerasan.
Menurut Duane Ruth (1986) bahwa konflik adalah kondisi yang terjadi ketika dua pihak atau lebih menganggap ada perbedaan posisi yang tidak selaras, tidak   cukup sumber dan tindakan salah satu pihak menghalangi, atau mencampuri atau  dalam beberapa hal membuat tujuan pihak lain kurang berhasil. Menurut Taquiri (1977) bahwa konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku  dalam berbagai keadaan akibat dari pada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan,  kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan. Menurut Faules (1994) bahwa konflik merupakan ekspresi pertikaian antara  individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa  alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami.

Jenis-jenis Konflik
Secara garis besar berbagai konflik dalam masyarakat dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bentuk konflik berikut ini:
a.       Berdasarkan sifatnya, dibedakan menjadi dua, yaitu:
1.      Konflik Destruktif, merupakan konflik yang muncul karena adanya  perasaan tidak senang, rasa benci dan dendam dari seseorang ataupun kelompok terhadap  pihak lain. Pada konflik ini terjadi bentrokan-bentrokan fisik yang mengakibatkan hilangnya nyawa dan harta benda seperti konflik Poso, Ambon, Kupang, Sambas, dan lain sebagainya.
2.    Konflik Konstruktif, merupakan konflik yang bersifat fungsional, konflik ini muncul karena adanya perbedaan pendapat dari kelompok-kelompok dalam menghadapi suatu permasalahan. Konflik ini akan menghasilkan  suatu konsensus dari berbagai pendapat tersebut dan menghasilkan suatu    perbaikan. Misalnya perbedaan pendapat dalam sebuah organisasi.
b.      Berdasarkan Posisi Pelaku yang Berkonflik, dibedakan menjadi dua, yaitu:
1.   Konflik Vertikal, merupakan konflik antar komponen masyarakat di dalam satu struktur yang memiliki hierarki. Contohnya, konflik yang terjadi antara atasan dengan bawahan dalam sebuah kantor.
2.     Konflik Horizontal, merupakan konflik yang terjadi antara individu atau kelompok yang memiliki kedudukan yang relatif sama. Contohnya konflik yang terjadi antar organisasi massa.
3.   Konflik Diagonal, merupakan konflik yang terjadi karena adanya ketidakadilan alokasi sumber daya ke seluruh organisasi sehingga menimbulkan pertentangan yang ekstrim. Contohnya konflik yang terjadi di Aceh.
Sedangkan menurut Soerjono Soekanto, konflik sosial terbagi menjadi lima bentuk antara lain sebagai berikut:
1.   Konflik atau pertentangan pribadi, yaitu konflik yang terjadi antara dua individu atau lebih karena perbedaan pandangan dan sebagainya.
2.  Konflik atau pertentangan rasial, yaitu konflik yang timbul akibat perbedaan-perbedaan ras.
3.  Konflik atau pertentangan antara kelas-kelas sosial, yaitu konflik yang terjadi disebabkan adanya perbedaan kepentingan antar kelas sosial.
4.  Konflik atau pertentangan politik, yaitu konflik yang terjadi akibat adanya kepentingan atau tujuan politis seseorang atau kelompok.
5.   Konflik atau pertentangan yang bersifat internasional, yaitu konflik yang terjadi karena perbedaan kepentingan yang kemudian berpengaruh pada kedaulatan negara.
Sementara itu, Ralf Dahrendorf mengatakan bahwa konflik dapat dibedakan atas empat macam, yaitu sebagai berikut :
1.   Konflik antara atau yang terjadi dalam peranan sosial, atau biasa disebut dengan konflik peran. Konflik peran adalah suatu keadaan di mana individu menghadapi harapan-harapan yang berlawanan dari bermacam-macam peranan yang dimilikinya.
2.      Konflik antara kelompok-kelompok sosial.
3.      Konflik antara kelompok-kelompok yang terorganisir dan tidak terorganisir.
4.   Konflik antara satuan nasional, seperti antar partai politik, antar negara, atau organisasi internasional.
Menurut Luthans (2005), konflik terdiri dari tiga jenis yang akan dijelaskan sebagai berikut:
1.    Konflik Antar Pribadi (Interpersonal Conflict). Konflik interpersonal muncul di antara dua individu. Konflik ini bisa terbentuk di antara rekan kerja, teman, anggota keluarga, atau antara supervisor dan karyawan-karyawan. Sebagai contoh, konflik bisa muncul ketika seseorang tidak setuju dengan gaya hidup individu lainnya. Dalam contoh ini, tujuan dalam memecahkan masalah konflik bukanlah pada mengubah pendapat atau filosofi antara yang satu dengan yang lainnya mengenai gaya hidup siapa yang benar. Tujuan sebenarnya adalah untuk memfokuskan pada perilaku bagaimana yang dipakai seseorang yang akan memengaruhi tujuan-tujuan atau hidup individu lainnya secara langsung.
2.     Konflik Individu-Kelompok (Individual-Group Conflict). Konflik antar kelompok muncul ketika kebutuhan-kebutuhan, tujuan-tujuan, dan harapan-harapan seorang individu berbeda dengan kelompoknya. Sebagai contoh, seorang karyawan lebih tertarik dalam melakukan hubungan pelayanan kustomer, namun bagian pemasaran lebih menginginkannya untuk bekerja dalam penjualan produk. Akibatnya akan terjadi konflik antara individu dengan pihak bagian pemasaran.
3.   Konflik Antar Kelompok (Group-Group Conflict). Konflik intraorganisasi atau konflik antar kelompok muncul di antara dua atau lebih kelompok. Sering kali konflik yang sering ditemui dalam perusahaan adalah konflik antara tim dengan pihak manajemen. Tim secara rutin menghadapai konflik dengan pihak manajemen yang oleh pihak manajemen diyakini sebagai sesuatu yang memang seharusnya demikian. Contoh lainnya yaitu konflik yang muncul saat satu departemen dengan departemen lainnya bersaing untuk sumber daya yang berkurang seperti berkurangnya personil ataupun untuk mendapatkan kenaikan gaji.

Proses-proses Konflik
a.     Tahap I: Potensi Oposisi dan Ketidakcocokan
Kondisi yang menciptakan terjadinya konflik meskipun kondisi tersebut tidak mengarah langsung ke konflik. Kondisi ini antara lain disebabkan oleh: (1) Komunikasi, komunikasi yang kurang baik dalam organisasi sehingga menimbulkan ketidaknyamanan antar anggota organisasi, (2) Struktur, tuntutan pekerjaan menyebabkan ketidaknyamanan antar anggota organisasi, (3) Variabel Pribadi, ketidaksukaan pribadi atas individu lain.
b.     Tahap II: Kognisi dan Personalisasi
Apabila pada tahap I muncul kondisi yang negatif, maka pada tahap ini kondisi tersebut didefinisikan, sesuai persepsi pihak yang berkonflik. Konflik yang dipersepsikan (kesadaran satu pihak atau lebih atas adanya konflik yang menciptakan peluang terjadinya konflik) dan konflik yang dirasakan (keterlibatan emosional saat konflik yang menciptakan kecemasan, ketegangan, frustasi, atau kekerasan).
c.     Tahap III: Maksud
Keputusan untuk bertindak dengan cara tertentu, seperti: (1) Persaingan, keinginan memuaskan kepentingan seseorang, tidak mempedulikan dampak pada pihak lain dalam konflik tersebut, (2) Kolaborasi, situasi yang di dalamnya pihak-pihak yang berkonflik sepenuhnya saling memuaskan kepentingan semua pihak, (3) Penghindaran, keinginan menarik diri dari konflik, (4) Akomodasi, kesediaan satu pihak dalam konflik untuk memperlakukan kepentingan pesaing di atas kepentingannya sendiri, (5) Kompromi, satu situasi yang di dalamnya masing-masing pihak yang berkonflik bersedia mengorbankan sesuatu.
d.    Tahap IV: Perilaku
Pada tahap ini konflik tampak nyata, mencakup pernyataan, tindakan dan reaksi yg dibuat pihak-pihak yang berkonflik.
e.     Tahap V: Hasil
Pada tahap ini konflik dapat ditentukan apakah merupakan Konflik Fungsional atau Konflik Disfungsional

D.    Kasus Mengenai Stres & Konflik
Kasus Mengenai Stres
Selasa, 15 Maret 2016 08:02 WIB, “Stres karena Kerja Sebabkan Banyak Karyawan Kehilangan Waktu Tidur”
TRIBUNKALTIM.CO - Menurut survei, dari 3.200 karyawan yang dilakukan oleh CareerBuilder, setidaknya sekitar satu dari empat karyawan mengatakan, pikiran buruk tentang pekerjaan terjadi sedikitnya sekali dalam seminggu, bahkan bisa lebih. Survei lain yang dilakukan sebelumnya, yang melibatkan lebih dari 1.400 karyawan di berbagai negara, bahkan menghasilkan angka yang lebih tinggi: tiga dari empat karyawan kehilangan tidur karena masalah pekerjaan. Peneliti menjelaskan, itu sangat mungkin terjadi karena pekerjaan kerap memberikan tekanan bagi karyawannya, sehingga karyawan sering terjebak dalam kondisi sulit tidur karena pikiran atau stres akan pekerjaan mereka. Kasus karyawan yang berhubungan dengan stres melompat 28 persen selama tiga tahun belakangan, menurut data dari penyedia program kesehatan karyawan Workplace Options, yang melihat data dari lebih dari 100.000 karyawan, dan memiliki kepentingan dalam membantu karyawan mengatasi stres tersebut. "Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa stres kerja adalah sumber utama stres bagi orang dewasa, khususnya di Amerika. Kasus tersebut telah meningkat secara progresif selama beberapa dekade terakhir," menurut peneliti dari The American Institute of Stress.
Solusi:
Stres dalam pekerjaan dapat dicegah timbulnya dan dapat dihadapi. Seorang karyawan dapat berusaha sendiri untuk mcngurangi level stresnya. Strategi yang bersifat individual yang cukup efektif yaitu pengelolaan waktu, latihan fisik, dan dukungan sosial. Dengan pengelolaan waktu yang baik maka seorang karyawan dapat menyelesaikan tugas dengan baik, tanpa adanya tuntutan kerja yang tergesa-gesa. Lalu, jika seorang karyawan merasa dirinya ada kenaikan ketegangan, para karyawan tersebut seharusnya time out terlebih dahulu. Cara time out ini bisa bermacam-macam, seperti istirahat sejenak namun masih dalam ruangan kerja, keluar ke ruang istirahat (jika disediakan oleh perusahaan), pergi sebentar ke kamar kecil untuk membasuh muka dan sebagainya. Selain itu, dengan latihan fisik dapat meningkatkan kondisi tubuh agar lebih prima sehingga mampu menghadapi tuntutan tugas yang berat Untuk mengurangi stres kerja, dibutuhkan pula dukungan sosial terutama melalui orang yang terdekat, seperti keluarga, teman sekerja, pemimpin, dan lain-lain. Agar diperoleh dukungan maksimal, dibutuhkan komunikasi yang baik pada semua pihak. Karyawan dapat mengajak berbicara orang lain tentang masalah yang dihadapi, atau setidaknya ada tempat mengadu atas keluh kesahnya.

Kasus Mengenai Konflik
Kamis, 25 Februari 2016 - 07:03 WIB, Konflik SARA Paling Mengerikan Ini Pernah Terjadi di Indonesia: Konflik Agama di Ambon
Konflik berbau agama paling tragis meletup pada tahun 1999 silam. Konflik dan pertikaian yang melanda masyarakat Ambon-Lease sejak Januari 1999, telah berkembang menjadi aksi kekerasan brutal yang merenggut ribuan jiwa dan menghancurkan semua tatanan kehidupan bermasyarakat. Konflik tersebut kemudian meluas dan menjadi kerusuhan hebat antara umat Islam dan Kristen yang berujung pada banyaknya orang meregang nyawa. Kedua kubu berbeda agama ini saling serang dan bakar membakar bangunan serta sarana ibadah. Saat itu, ABRI dianggap gagal menangani konflik dan merebak isu bahwa situasi itu sengaja dibiarkan berlanjut untuk mengalihkan isu-isu besar lainnya. Kerusuhan yang merusak tatanan kerukunan antar umat beragama di Ambon itu berlangsung cukup lama sehingga menjadi isu sensitif hingga saat ini.
Solusi:
SARA merupakan salah satu hal sensitif dalam masyarakat Indonesia, karena bersangkutan dengan adanya keanekaragaman bangsa yang menimbulkan perbedaan pandangan maupun pendapat baik dalam hal keyakinan, adat istiadat, budaya dan lainnya. Masalah SARA dapat menyebabkan perpecahan yang merusak bangsa dan negara, seperti timbulnya peperangan, pembunuhan, pengeboman, dan lain-lain. Sebagai bangsa yang terdiri atas beragam suku, agama, dan golongan, Indonesia memang rawan terhadap konflik berlatar belakang SARA. Oleh sebab itu, perseteruan antar sesama orang Indonesia harus dihindari karena dapat menimbulkan dampak yang merusak. Cara untuk menghindari perseteruan adalah dengan memperkuat sikap saling mengayomi, saling menghormati perbedaan yang ada, serta meningkatkan toleransi beragama di kalangan masyarakat. Selain itu, sikap tegas dari aparat keamanan dengan memburu pelaku kerusuhan, menjatuhkan sanksi tegas kepada orang-orang yang memprovokasi warga, perlu didukung untuk menimbulkan efek jera.

II.            KOMUNIKASI DALAM MANAJEMEN
A.    Pengertian Komunikasi
Kata atau istilah komunikasi (dari bahasa Inggris “communication” ), secara epistemologis atau menurut asal katanya adalah dari bahasa latin communicatus, dan perkataan ini bersumber pada kata communis. Kata communis memiliki makna “berbagi” atau “menjadi milik bersama” yaitu usaha yang memiliki tujuan untuk kebersamaan atau kesamaan makna. Komunikasi secara terminilogis merujuk pada  adanya proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Jadi, yang terlibat dalam komunikasi ini adalah manusia.
Menurut Widjaja (2008) komunikasi  adalah  hubungan  kontak  antar  dan  antara  manusia  baik  individu maupun  kelompok. Dalam  kehidupan  sehari-hari  disadari  atau  tidak  komunikasi adalah  bagian  dari  kehidupan  manusia  itu  sendiri. Manusia sejak  dilahirkan  sudah berkomunikasi dengan lingkungannya. Menurut Ruslan (2008) komunikasi merupakan alat yang penting dalam fungsi public relations. Publik  menaungi  dan  menghargai  suatu  kinerja  yang  baik  dalam  kegiatan komunikasi  secara  efektif  dan  sekaligus  kinerja  yang  baik  tersebut  untuk  menarik perhatian publik serta tujuan penting yang lainnya dari fungsi public relations.
Pawito dan Sardjono (1994) mencoba mendefinisikan komunikasi sebagai suatu proses dengan mana suatu pesan dipindahkan atau dioperkan (lewat suatu saluran) dari suatu sumber kepada penerima dengan maksud mengubah perilaku, perubahan dalam pengetahuan, sikap dan atau perilaku overt lainnya. Sekurang-kurangnya didapati empat unsur utama dalam model komunikasi yaitu sumber (the source), pesan (the message), saluran (the channel) dan penerima (the receiver).
Devito mengemukakan komunikasi sebagai transaksi. Transaksi yang dimaksudkannya bahwa komunikasi merupakan suatu proses dimana komponen-komponennya saling terkait dan bahwa para komunikatornya beraksi dan bereaksi sebagai suatu kesatuan dan keseluruhan. Dalam setiap proses transaksi, setiap elemen berkaitan secara integral dengan elemen lain (Suprapto, 2006).
Sebagai proses, kata Smith, komunikasi sekaligus bersifat khas dan umum, sempit dan luas dalam ruang lingkupnya. Dirinya menguraikan komunikasi antarmanusia merupakan suatu rangkaian proses yang halus dan sederhana. Selalu dipenuhi dengan berbagai unsur-sinyal, sandi, arti tak peduli bagaimana sederhananya sebuah pesan atau kegiatan itu. Komunikasi antarmanusia juga merupakan rangkaian proses yang beraneka ragam. Ia dapat menggunakan beratus-ratus alat yang berbeda, baik kata maupun isyarat ataupun kartu berlubang baik berupa percakapan pribadi maupun melalui media massa dengan audience di seluruh dunia…ketika manusia berinteraksi saat itulah mereka berkomunikasi…saat orang mengawasi orang lain, mereka melakukan melalui komunikasi” (Blake dan Haroldsen, 2003).

B.     Proses Komunikasi
Dalam proses komunikasi terdapat komponen-komponen dasar sebagai berikut: pertama pengirim pesan (sender). Pengirim pesan adalah orang yang mempunyai ide untuk disampaikan kepada seseorang dengan harapan dapat dipahami oleh orang yang menerima pesan sesuai dengan yang dimaksudkannya. Kedua, pesan (massage). Pesan adalah informasi yang akan disampaikan  atau diekspresikan  oleh pengirim pesan.  Pesan dapat verbal atau non verbal dan pesan akan efektif bila diorganisir secara baik dan jelas. Materi pesan dapat berupa: (1) informasi, (2) ajakan, (3) rencana kerja, (4) pertanyaan dan sebagainya. Ketiga, simbol atau isyarat. Pada tahap ini pengirim pesan membuat kode atau simbol sehingga pesannya dapat dipahami oleh  orang lain. Biasanya seorang guru menyampaikan pesan dalam bentuk kata-kata, gerakan anggota badan, (tangan, kepala, mata dan bagian muka lainnya). 
Keempat adalah media atau penghubung adalah alat untuk menyampaikan pesan seperti: TV, radio, surat kabar,  papan pengumuman, telepon dan lainnya. Pemilihan media ini disesuaikan dengan isi pesan  yang akan disampaikan, jumlah penerima pesan, situasi dan sebagainya. Kelima adalah mengartikan kode atau isyarat. Setelah  pesan diterima  melalui indera (telinga, mata maupun indera lainnya), maka penerima pesan  harus dapat mengartikan  simbol atau kode dari pesan tersebut, sehingga dapat dipahami. Keenam adalah penerima pesan. Penerima pesan adalah orang yang dapat memahami pesan  dari pengirim  meskipun dalam bentuk kode atau isyarat tanpa mengurangi arti pesan yang dimaksud oleh pengirim. 
Ketujuh adalah balikan (feedback). Balikan adalah isyarat atau tanggapan yang berisi  kesan dari penerima pesan dalam bentuk verbal maupun non verbal. Tanpa balikan seorang pengirim pesan tidak akan tahu dampak pesannya terhadap penerima pesan. Hal ini penting  bagi guru atau pengirim pesan untuk mengetahui apakah pesan sudah diterima dengan pemahaman yang benar dan tepat.  Delapan adalah gangguan. Gangguan bukan merupakan bagian dari proses komunikasi  akan tetapi mempunyai pengaruh dalam  proses komunikasi, karena pada setiap situasi hampir selalu ada gangguan. Gangguan adalah  hal yang  merintangi atau menghambat komunikasi  sehingga penerima salah menafsirkan pesan  yang diterimanya.
Adapun proses komunikasi  dapat dilihat pada skema dibawah ini:

Berdasarkan paradigma Laswell, Effendy (1994) membedakan proses  komunikasi menjadi dua tahap, yaitu:
a.       Proses komunikasi secara primer
Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambing sebagai media. Lambing sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah pesan verbal (bahasa), dan pesan nonverbal.
Komunikasi berlangsung apabila terjadi kesamaan makna dalam pesan yang diterima oleh komunikan. Prosesnya sebagai berikut, pertama komunikator menyandi (encode) pesan yang akan disampaikan kepada komunikan. Ini berarti komunikator memformulasikan pikiran atau perasaannya ke dalam lambing (bahasa) yang diperkirakan akan dimengerti oleh komunikan. Kemudian, komunikan menerjemahkan (decode) pesan dari komunikator. Ini berarti komunikan menafsirkan lambing yang mengandung perasaan dan pikiran komunikator.
Menurut Wilbur Schramm (dalam Effendy) menyatakan bahwa komunikasi akan berhasil apabila pesan yang disampaikan oleh komunikator cocok dengan kerangka acuan (frame of reference), yakni perpaduan pengalaman dan pengertian yang diperoleh komunikan. Kemudian Schramm juga menambahkan, bahwa komunikasi akan berjalan lancara apabila bidang pengalaman komunikator sama dengan dengan bidang pengalaman komunikan. Sebagai contoh, si A seorang mahasiswa ingin berbincang-bincang mengenai perkembangan valuta asing dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi. Bagi si A tentunya akan sangat mudah dan lancaraapabila pembicaraan mengenai hal tersebut dilakukan dengan si B yang juga sama-sama mahsiswa. Seandainya si A membicarakan hal tersebut dengan si C yang yang seorang pemuda desa tamatan SD tentunya proseskomunikasi tidak akan berjalan lancar.
b.      Proses komunikasi secara sekunder
Proses komunikasi secara sekunder adalah prosese penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambing sebagai media pertama.
Seorang komunikator menggunakan media ke dalam dua komunikasi karena komunikan sebagai sarana berada di tempat yang relatif jauh atau jumlahnya  banyak. Surat, telepon fax, radiao, majalah, dll merupakan media yang sering digunakan dalan komunikasi.

C.    Hambatan Komunikasi
Segala sesuatu yang menghalangi kelancaran komunikasi disebut sebagai gangguan (noise). Kata noise dipinjam dari istilah ilmu kelistrikan yang mengartikan noise sebagai keadaan terentu dalam sistem kelistrikan yang mengakibatkan tidak lancarnya atau berkurangnya ketepatan peraturan. Pencetakan huruf yang saling bertindihan dalam suatu surat kabar atau majalah akan menjadi gangguan bagi pembacanya. Kata-kata yang diucapkan secara tidak tepat oleh seorang penyiar akan mengganggu komunikasi dengan pendengarnya. Apabila kata-kata atau kalimat yang disampaikan tidak atau bukan merupakan kata-kata yang secara luas dipahami oleh pendengar. Penggunaan kata-kata asing yang sulit dimengerti tentu merupakan bagian dari noise atau gangguan yang harus dihindari oleh stasiun radio.
Disamping itu, ada pula gangguan yang berasal dari saluran komunikasi tersebut, misalnya interferensi yang terjadi pada gelombang radio yang mengakibatkan tidak jelasnya isi siaran diterima oleh pendengar. Namun demikian, pada hakikatnya kebanyakan dari ganguan yang timbul, bukan berasal dari sumber atau salurannya, tetapi dari audience (penerima). Manusia sebagai komunikan memiliki kecendrungan untuk acuh tak acuh, meremehkan sesuatu, salah menafsirkan, atau tidak mampu mengingat dengan jelas apa yang diterimanya dari komunikator. Setidak-tidaknya ada tiga faktor psikologis yang mendasari hal itu (Suprapto, 2009), yaitu:
1.     Selective attention. Orang biasanya cenderung untuk mengekspos dirinya hanya kepada hal-hal (komunikasi) yang dikehendakinya. Misalnya, seseorang tidak berminat membeli mobil, jelas dia tidak akan berminat membaca iklan jual beli mobil.
2. Selective perception. Suatu kali, seseorang berhadapan dengan suatu peristiwa komunikasi, maka ia cenderung menafsirkan isi komunikasi sesuai dengan prakonsepsi yang sudah dimiliki sebelumnya. Hal ini erat kaitannya dengan kecendrungan berpikir secara stereotip.
3.  Selective retention. Meskipun seseorang memahami suatu komunikasi, tetapi orang berkecenderungan hanya mengingat apa yang mereka ingin untuk diingat. Misalnya, setelah membaca suatu artikel berimbang mengenai komunisme, seorang mahasiswa yang anti komunis hanya akan mengingat hal-hal jelek mengenai komunisme. Sebaliknya mahasiswa yang prokomunis cenderung untuk mengingat kelebihan-kelebihan sistem komunisme yang diungkapkan oleh artikel tersebut.
Sedangkan menurut Ruslan (2008) hambatan dalam komunikasi antara lain sebagai berikut:
1.     Hambatan Dalam Proses Penyampaian (Sender Barries)
Hambatan di sini bisa datang dari pihak komunikatornya yang mendapat kesulitandalam menyampaikan pesan–pesannya, tidak menguasai materi pesan dan belum memiliki kemampuan sebagai komunikator yang handal. Hambatan ini bisa jugaberasal dari penerima pesan tersebut (receiver barrier) karena sulitnya komunikan dalam memahami pesan itu dengan baik. Hal ini dapat disebabkan oleh rendahnya tingkat penguasaan bahasa, pendidikan, intelektual dan sebagainya yang terdapat dalam diri komunikan. Kegagalan komunikasi dapat pula terjadi dikarenakan faktor-faktor: feedbacknya bahasa tidak tercapai, medium barrier (media atau alat yang dipergunaan kurang tepat) dan decoding barrier (hambatan untuk memahami pesan secara tepat).
2.      Hambatan secara Fisik (Phsysical Barries)
Sarana fisik dapat menghambat komunikasi yang efektif, misalnya pendengaran kurang tajam dan gangguan pada sistem pengeras suara (sound system) yang sering terjadi dalam suatu ruangan kuliah/seminar/pertemuan. Hal ini dapat membuat pesan-pesan itu tidak efektif sampai dengan tepat kepada komunikan.
3.      Hambatan Semantik (Semantik Pers)
Hambatan segi semantik (bahasa dan arti perkataan), yaitu adanya perbedaan pengertian dan pemahaman antara pemberi pesan dan penerima tentang satu bahasa atau lambang. Mungkin saja yang disampaikan terlalu teknis dan formal, sehingga menyulitkan pihak komunikan yang tingkat pengetahuan dan pemahaman bahasa teknis komunikator yang kurang.
4.     Hambatan Sosial (Sychossial Noies)
Hambatan adanya perbedaan yang cukup lebar dalam aspek kebudayaan, adat stiadat, kebiasaan, persepsi, dan nilai-nilai yang dianut sehingga kecenderungan, kebutuhan serta harapan-harapan kedua belah pihak yang berkomunikasi juga berbeda.

D.    Pengertian Komunikasi Interpersonal Efektif dalam Organisasi
Komunikasi interpersonal merupakan bagian dari ilmu komunikasi adalah hal yang sangat penting dalam suatu organisasi untuk kelancaran kegiatan yang menjadi tujuan suatu organisasi. Ada beberapa pengertian tentang komunikasi interpersonal yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya:
Pace (1979) mengemukakan bahwa komunikasi antarpribadi atau communication interpersonal merupakan proses komunikasi yang berlangsung antara dua orang atau lebih secara tatap muka dimana pengirim dapat menyampaikan pesan secara langsung dan penerima pesan dapat menerima dan menanggapi secara langsung. Komunikasi interpersonal merupakan komunikasi yang pesannya dikemas dalam bentuk verbal atau nonverbal, seperti komunikasi pada umumnya komunikasi interpersonal selalu mencakup dua unsur pokok yaitu isi pesan dan bagaimana isi pesan dikatakan atau dilakukan secara verbal atau nonverbal. Dua unsur tersebut sebaiknya diperhatikan dan dilakukan berdasarkan pertimbangan situasi, kondisi, dan keadaan penerima pesan.
Menurut Muhammad (2009) mendefenisikan komunikasi interpersonal adalah proses pertukaran informasi di antara seseorang dengan paling kurang seorang lainnya atau biasanya diantara dua orang yang dapat langsung diketahui balikannya. Dengan bertambahnya orang yang terlibat dalam komunikasi, menjadi bertambahlah persepsi orang dalam kejadian komunikasi sehingga bertambah komplekslah komunikasi tersebut. Komunikasi interpersonal adalah membentuk hubungan dengan orang lain. Sedangkan menurut Cangara (2006) komunikasi interpersonal atau komunikasi antarpribadi ialah proses komunikasi yang berlangsung antara dua orang atau lebih secara tatap muka.
Bungin (2008) menjelaskan bahwa komunikasi interpersonal adalah komunikasi antar-perorangan yang bersifat pribadi baik yang terjadi secara langsung (tanpa medium) maupun tidak langsung (melalui medium). Contohnya kegiatan percakapan tatap muka, percakapan melalui telepon, surat menyurat pribadi. Fokus pengamatannya adalah bentuk-bentuk dan sifat hubungan (relationship), percakapan (discourse), interaksi dan karakteristik komunikator.
Sementara itu, menurut Hardjana (2003) komunikasi interpersonal adalah interaksi tatap muka antar dua atau beberapa orang, dimana pengirim dapat menyampaikan pesan secara langsung, dan penerima pesan dapat menerima dan menanggapi secara langsung pula. Menurut Mulyana (2000) komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal atau nonverbal. Komunikasi interpersonal ini adalah komunikasi yang hanya dua orang, seperti suami istri, dua sejawat, dua sahabat dekat, guru-murid dan sebagainya

E.     Model Pengolahan Informasi dalam Komunikasi
Model komunikasi yang paling sederhana adalah adanya pengirim, berita (pesan) dan penerima seperti gambar berikut ini : Model ini menunjukkan 3 unsur esensi komunikasi. Bila salah satu unsur hilang, komunikasi tidak dapat berlangsung. Sebagai contoh seorang dapat mengirimkan pesan, tetapi bila tidak ada yang menerima atau yang mendengar, komunikasi tidak akan terjadi.
Model Pengolahan Informasi pada dasarnya menitikberatkan dorongan-dorongan internal (datang dari dalam diri) manusia untuk memahami dunia dengan cara menggali dan mengorganisasikan data, merasakan adanya masalah dan mengupayakan jalan pemecahannya, serta mengembangkan bahasa untuk mengungkapkannya. Proses informasi adalah proses menerima, menyimpan dan mengungkap kembali informasi. Dalam proses pembelajaran, proses menerima informasi terjadi pada saat siswa menerima pelajaran.
Proses menyimpan informasi terjadi pada saat siswa harus menghafal, memahami, dan mencerna pelajaran. Sedangkan proses mengungkap kembali informasi terjadi pada saat siswa menempuh ujian atau pada saat siswa harus menerapkan pengetahuan yang telah dimilikinya untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu perlu dikemukakan bahwa informasi masuk ke dalam kesadaran manusia melalui pancaindera, yaitu indera pendengaran, penglihaan, penciuman, perabaan, dan pengecapan. Informasi masuk ke kesadaran manusia paling banyak melalui indera pendengaran dan penglihatan. Informasi masuk ke kesadaran manusia paling banyak melalui indera pendengaran dan penglihatan. Berdasarkan alas an tersebut, maka media yang banyak digunakan adalah media audio, media visual, dan media audiovisual (gabungan media audio dan visual).
Belakangan berkembang konsep multimedia, yaitu penggunaan secara serentak lebih daripada satu media dalam proses komunikasi, informasi dan pembelajaran. Konsep multimedia diasarkan atas pertimbangan bahwa penggunaan lebih dari pada satu media yang menyentuh banyak indera akan membuat proses komunikasi termasuk proses pembelajaran lebih efektif.
Teori pemrosesan informasi/kognitif dipelopori oleh Robert Gagne (1985). Asumsinya adalah pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil komulatif dari pembelajaran. Dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi yang kemudian diolah sehingga menghasilkan output dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi interaksi antara kondisi internal (keadaan individu, proses kognitif) dan kondisi-kondisi eksternal (rangsangan dari lingkungan). Interaksi antar keduanya akan menghasilkan hasil belajar. Pembelajaran merupakan keluaran dari pemrosesan informasi yang berupa kecakapan manusia (human capitalities) yang terdiri dari Model Pengolahan informasi berorientasi pada: proses kognitif, pemahaman dunia, pemecahan masalah, dan berpikir induktif. Model pengolahan informasi dibawah ini ada 4 yaitu:
1.   Rational. Model pengolahan informasi dimana  orang- orang benar-benar memproses semua informasi yang tersedia dalam mencari solusi yang terbaik atau output maksimum. Model ini memiliki nilai perspektif yang kuat, tetapi akurasi deskriptif lemah.
2.   Limited Capacity. Model pengolahan informasi yang melemahkan kondisi model rasional dan mengasumsikan bahwa orang mempermudah pengolahan informasi dalam mencari solusi (tidak diperlukan optimal).
3.  Expert. Model pengolahan informasi Menempatkan penekanan pada penggunaan pengetahuan mendalam yang sudah dikembangkan oleh ahli yang melengkapi pengolahan informasi yang telah disederhanakan. Sang ahli memiliki basis pengetahuan yang jauh lebih besar, yang diperoleh melalui pengalaman.
4.   Cybernetic. Model pengolahan informasi dimana pengolahan informasi dapat diubah dengan umpan balik.

F.     Model Interaktif Manajemen dalam Komunikasi
Model pemrosesan informasi ditekankan pada pengambilan, penguasaan, dan pemrosesan informasi. Model ini lebih memfokuskan pada fungsi kognitif peserta didik. Model ini didasari oleh teori belajar kognitif (Piaget) dan berorientasi pada kemampuan peserta didik memproses informasi yang dapat memperbaiki kemampuannya. Pemrosesan Informasi merujuk pada cara mengumpulkan/menerima stimuli dari lingkungan, mengorganisasi data, memecahkan masalah, menemukan konsep, dan menggunakan simbol verbal dan visual.
1.   Confidence. Dalam manajemen timbulnya suatu interaksi karena adanya rasa nyaman. Kenyamanan tersebut dapat membuat suatu organisasi bertahan lama dan menimbulkan suatu kepercayaan dan pengertian.
2.    Immediacy. Ini adalah model organisasi yang membuat suatu organisasi tersebut menjadi segar dan tidak membosankan.
3. Interaction Management. Adanya berbagai interaksi dalam manajemen seperti mendengarkan dan juga menjelaskan kepada berbagai pihak yang bersangkutan.
4.  Expressiveness. Mengembangkan suatu komitmen dalam suatu organisasi dengan berbagai macam ekspresi perilaku.
5.   Other-orientation. Adanya komunikasi antara komunikasi dengan satu pihak ke pihak lain, sebagai tukar menukar informasi. Dalam hal ini suatu manajemen organisasi berorientasi pada pegawai.



DAFTAR PUSTAKA
Fausiah, F & Widury, J. (2007). Psikologi Abnormal. Jakarta: UI-Press.
Kusnadi. (2002). Masalah Kerja Sama, Konflik dan Kinerja. Malang: Taroda.
Lawang, R. (1994). Buku   Materi   Pokok   Pengantar   Sosiologi. Jakarta: Universitas   Terbuka.
Riza, R & Roesmidi, H.  (2006). Pemberdayaan Masyarakat. Sumedang: ALQAPRINT JATINANGOR.
Soekanto, S. (1992). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
Sriati, A. (2008). Tinjauan Tentang Stres. Jatinagor: Universitas Padjadjaran.
Zeitlin, I.M. (1998). Memahami  Kembali  Sosiologi. Yogyakarta:  Gajah  Mada  University  Press.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar