belamore
Jumat, 05 Januari 2018
Jumat, 03 November 2017
Kamis, 12 Oktober 2017
Sabtu, 14 Januari 2017
TUGAS KE-4 PSIKOLOGI MANAJEMEN
I.
EMPOWERMENT,
STRES & KONFLIK
A.
Pengertian
Empowerment
Empowerment yang dalam bahasa Indonesia berarti “pemberdayaan”, adalah
sebuah konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran
masyarakat kebudayaan Barat, utamanya Eropa. Memahami konsep empowerment secara tepat harus memahami
latar belakang kontekstual yang melahirkannya. Konsep empowerment mulai nampak sekitar dekade 70-an dan terus berkembang
hingga 1990-an. (Pranarka & Vidhyandika,1996).
Definisi
pemberdayaan dalam arti sempit, yang berkaitan dengan sistem pengajaran antara
lain dikemukakan oleh Merriam Webster dan Oxford English Dictionary kata “empower” mengandung dua arti. Pengertian
pertama adalah to give power of authority
dan pengertian kedua berarti to give
ability to or enable. Dalam pengertian pertama diartikan sebagai memberi
kekuasaan, mengalihkan kekuasaan, atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain.
Sedangkan, dalam pengertian kedua, diartikan sebagai upaya untuk memberikan
kemampuan atau keberdayaan.
Robinson (1994) menjelaskan bahwa pemberdayaan
adalah suatu proses pribadi dan sosial; suatu pembebasan kemampuan pribadi,
kompetensi, kreatifitas dan kebebasan bertindak. Ife (1995) mengemukakan bahwa
pemberdayaan mengacu pada kata “empowerment,” yang berarti memberi daya,
memberi “power” (kuasa), kekuatan, kepada pihak yang kurang berdaya.
Segala potensi yang dimiliki oleh pihak
yang kurang berdaya itu ditumbuhkan, diaktifkan, dikembangkan sehingga mereka memiliki kekuatan untuk membangun
dirinya. Payne (1997) menjelaskan bahwa
pemberdayaan pada hakekatnya bertujuan untuk membantu klien mendapatkan daya,
kekuatan dan kemampuan untuk mengambil keputusan dan tindakan yang akan
dilakukan dan berhubungan dengan diri klien tersebut, termasuk mengurangi kendala pribadi dan sosial
dalam melakukan tindakan.
Paul (1987) menyatakan bahwa pemberdayaan berarti
pembagian kekuasaan yang adil sehingga meningkatkan kesadaran politis kekuasaan
kelompok yang lemah serta memperbesar
pengaruh mereka terhadap proses dan hasil-hasil
pembangunan. Rappaport (1987) mengatakan bahwa pemberdayaan
diartikan sebagai pemahaman secara
psikologis pengaruh kontrol individu terhadap keadaan sosial, kekuatan politik dan hak-haknya.
MacArdle (1989) mengartikan pemberdayaan
sebagai proses pengambilan keputusan oleh orang-orang secara konsekuen melaksanakan keputusan itu.
Orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif
diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan merupakan “keharusan” untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka
sendiri dan akumulasi pengetahuan, ketrampilan serta sumber lainnya dalam
rangka mencapai tujuan tanpa tergantung pada pertolongan dari hubungan
eksternal.
Sulistiyani (2004) menjelaskan lebih rinci bahwa secara
etimologis pemberdayaan berasal dari kata dasar "daya" yang berarti
kekuatan atau kemampuan. Bertolak dari pengertian tersebut, maka pemberdayaan dimaknai sebagai proses untuk memperoleh daya,
kekuatan atau kemampuan, dan atau proses pemberian daya, kekuatan atau
kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum
berdaya. Berdasarkan beberapa pengertian pemberdayaan yang
dikemukakan tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa
pada hakekatnya pemberdayaan adalah suatu proses dan upaya
untuk memperoleh atau memberikan daya, kekuatan atau kemampuan kepada individu
dan masyarakat lemah agar dapat mengidentifikasi, menganalisis, menetapkan
kebutuhan dan potensi serta masalah yang dihadapi dan sekaligus memilih
alternatif pemecahnya dengan mengoptimalkan sumberdaya dan potensi yang dimiliki
secara mandiri.
B.
Pengertian
Stres
Stres
berasal dari bahasa Latin “stingere”
yang berarti keras (stictus), yang pada akhirnya istilah itu berkembang terus
menjadi stres (Cox, 1978). Pada abad 17, istilah stres diartikan sebagai
kesukaran, kesulitan, atau penderitaan. Selanjutnya pada abad 18, stres
digunakan untuk menunjukkan kekuatan, tekanan, ketegangan atau usaha yang keras
yang ditunjukkan pada benda-benda atau manusia, terutama untuk kekuatan mental
atau organ manusia (Cooper, Cooper & Eaher, 1988).
Lazarus
dan Folkman (1984) stres psikologis adalah sebuah hubungan antara individu
dengan lingkungan yang dinilai oleh individu tersebut sebagai hal yang
membebani atau sangat melampaui kemampuan seseorang dan membahayakan
kesejahteraannya. Menurut Fieldman (1989) stress adalah suatu proses yang
menilai suatu peristiwa sebagai sesuatu yang mengancam, menantang, ataupun
membahayakan dan individu merespon peristiwa itu pada level fisiologis,
emosional, kognitif dan perilaku. Peristiwa yang memunculkan stress dapat saja
positif, misalnya merencanakan perkawinan atau negatif, misalnya kematian
keluarga. Sesuatu didefinisikan sebagai peristiwa yang menekan (stressfull event) atau tidak, bergantung
pada respon yang diberikan oleh individu.
Menurut
Hans Selye dalam bukunya Hawari (2001) stres adalah respon tubuh yang sifatnya
nonspesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya. Bila seseorang telah
mengalami stres mengalami gangguan pada satu atau lebih organ tubuh sehingga
yang bersangkutan tidak lagi dapat menjelaskan fungsi pekerjaannya dengan baik,
maka ia disebut distres. Pada gejala stres, gejala yang dikeluhkan penderita
didominasi oleh keluhan-keluhan somatik (fisik), tetapi dapat pula disertai
keluhan-keluhan psikis. Tidak semua bentuk stres mempunyai konotasi negatif,
cukup banyak yang bersifat positif, hal tersebut dikatakan eustres. Stress
adalah suatu tuntutan yang mendorong organisme untuk beradaptasi atau
menyesuaikan diri. Sedangkan stressor
adalah suatu sumber stres.
Sarafino
(1994) mendefinisikan stres adalah kondisi yang disebabkan oleh interaksi antara
individu dengan lingkungan,
menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan-tuntutan yang berasal
dari situasi yang bersumber pada sistem biologis, psikologis
dan sosial dari
seseorang. Stres adalah tekanan
internal maupun eksternal serta
kondisi bermasalah lainnya
dalam kehidupan (an internal
and eksternal pressure
and other troublesome
condition in life).
Sumber-sumber Stres
Untuk
lebih memahami stres, maka perlu dikenali terlebih dahulu penyebab stres yang
biasa disebut dengan istilah stressor.
Stressor adalah semua kondisi
stimulasi yang berbahaya dan menghasilkan reaksi stres, misalnya jumlah semua
respons fisiologik nonspesifik yang menyebabkan kerusakan dalam sistem
biologis.
Menurut
Nasution (2007) berdasarkan penyebabnya, stressor
dibagi menjadi 3 kategori yaitu fisik, psikologis, dan
sosial. Stressor fisik adalah stressor
yang berasal dari luar individu, seperti suara, polusi, radiasi, suhu udara,
makanan, zat kimia, trauma, dan latihan fisik yang terpaksa. Sedangkan pada stressor psikologis, sumber stres
berasal dari tekanan dari dalam diri individu yang bersifat negatif seperti
frustasi, kecemasan (anxiety), rasa bersalah,
khawatir berlebihan, marah,
benci, sedih, cemburu, rasa
kasihan pada diri sendiri, serta rasa rendah diri. Dan stressor sosial adalah stressor
yang bersifat traumatik
yang tak dapat
dihindari, seperti kehilangan
orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, pensiun, perceraian, masalah
keuangan, dan lain-lain.
Lazarus
dan Cohen (1979) mengidentifikasikan kategori dari stressor, yaitu:
1. Cataclysmic
Stresssor, istilah
ini mengacu pada perubahan besar atau kejadian yang berdampak yang beberapa
orang atau seluruh komunitas dalam waktu yang sama, serta diluar kendali
siapapun. Contohnya bencana alam (gempa bumi, badai), perang, dipenjara dan
sebagainya. Pada stressor, individu
seringkali menemukan banyak dukungan dan sumber daya yang dapat digunakan untuk
membandingkan perilaku dari orang lain.
2. Personal
Stresssor, yaitu stressor yang memengaruhi secara
individual. Stressor ini dapat atau
tidak dapat diprediksi, akan tetapi memiliki pengaruh yang kuat dan membutuhkan
upaya coping yang cukup besar dari seseorang seperti menderita penyakit yang
mematikan, dipecat, bercerai, kematian orang yang dicintai, dan sebagainya. Stressor ini seringkali lebih sulit
ditanggulangi daripada cataclysmic
stresssor karena kurangnya dukungan dari individu lain yang memiliki nasib
yang sama.
3. Background
Stresssor, yaitu stressor yang merupakan “masalah
sehari-hari” dalam kehidupan. Stressor
ini berdampak kecil namun berlangsung terus-menerus, sehingga dapat mengganggu
dan menimbulkan stres negatif pada individu seperti contohnya mempunyai banyak
tanggung jawab, merasa kesepian, beradu argumen dengan pasangan, dan
sebagainya. Walaupun masalah sehari-hari tidak seberat perubahan besar dalam
hidup seperti perceraian, kemampuan untuk bisa beradaptasi dengan masalah
sehari-hari tersebut menjadi sangat penting dan hal ini juga berkaitan dengan
masalah kesehatan.
Lazarus
(1976) membagi stres ke dalam beberapa sumber, yaitu:
1. Frustasi, yang akan muncul apabila
usaha yang dilakukan individu untuk mencapai suatu tujuan mendapat hambatan
atau kegagalan. Hambatan ini dapat bersumber dari lingkungan maupun dari dalam
diri individu itu sendiri.
2. Konflik, stress akan muncul apabila
individu dihadapkan pada keharusan memilih satu di antara dua dorongan atau
kebutuhan yang berlawanan atau yang terdapat pada saat yang bersamaan.
3. Tekanan, stress juga akan muncul
apabila individu mendapat tekanan atau paksaan untuk mencapai hasil tertentu
dengan cara tertentu. Sumber tekanan dapat berasal dari lingkungan maupun dari
dalam diri individu yang bersangkutan.
4. Ancaman, antisipasi individu
terhadap hal-hal atau situasi yang merugikan atau tidak menyenangkan bagi
dirinya juga merupakan suatu yang dapat memunculkan stres.
Menurut
Girdano (2005), terdapat tiga jenis sumber stres yaitu faktor psikososial,
bioekologikal, dan personal:
1. Stres psikososial (Psychosocial Stress), ialah stres
yang disebabkan oleh
tekanan dari segi hubungan dengan kondisi sosial di
sekitar. Hal-hal yang dapat
menimbulkan stres secara
psikososial ialah perubahan
dalam hidup misalnya
berada di lingkungan baru,
diskriminasi, terjerat kasus
hukum, atau karena
kondisi ekonomi.
2. Stres bioekologikal (Bioecological Stress), terdiri atas dua
sumber stres yaitu ecological stress
(stres yang disebabkan oleh kondisi lingkungan) dan biological stress (stres yang disebabkan oleh kondisi fisik tubuh).
3. Stres kepribadian (Personality Stress), ialah stres yang
disebabkan oleh permasalahan yang dialami dalam diri sendiri.
C.
Pengertian
Konflik
Istilah
“konflik” secara etimologis berasal dari bahasa Latin “con”
yang berarti bersama dan “fligere”
yang berarti benturan atau tabrakan. Pada umumnya istilah konflik sosial
mengandung suatu rangkaian fenomena pertentangan dan pertikaian antar pribadi
melalui dari konflik kelas sampai pada pertentangan dan peperangan
internasional. Menurut Stoner dan Wankel, (1998) bahwa konflik organisasi adalah suatu perbedaan pendapat
diantara dua atau lebih anggota atau
kelompok dalam suatu organisasi yang muncul dari kenyataan bahwa mereka
harus membagi sumber daya yang langka
atau aktivitas kerja atau dari kenyataan bahwa
mereka mempunyai status, tujuan, nilai, atau pandangan yang berbeda.
Para anggota organisasi atau sub unit
yang berbeda pendapat berupaya untuk memenangkan kepen tingan atau pandangannya
masing-masing.
Coser mendefinisikan konflik sosial sebagai suatu
perjuangan terhadap nilai dan pengakuan
terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan
dinetralisir atau dilangsungkan atau dieliminir saingannya. Menurut Lawang,
konflik diartikan sebagai perjuangan untuk memperoleh hal-hal yang langka
seperti nilai, status, kekuasaan dan sebagainya dimana tujuan mereka berkonflik
itu tidak hanya memperoleh keuntungan tetapi juga untuk menundukkan pesaingnya. Konflik dapat diartikan sebagai benturan
kekuatan dan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lain
dalam proses perebutan sumber-sumber kemasyarakatan (ekonomi, politik, sosial
dan budaya) yang relatif terbatas.
Secara umum Degenova (2008) mengatakan bahwa konflik
merupakan hal yang normal terjadi pada setiap hubungan, dimana dua orang tidak
pernah selalu setuju pada suatu keputusan yang dibuat. Lewin (dalam Lindzey
& Hall, 1985) menyatakan bahwa konflik adalah keadaan dimana
dorongan-dorongan di dalam diri seseorang berlawanan arah dan hampir sama
kekuatannya. Weiten (2004)
mendefenisikan konflik sebagai keadaan ketika dua atau lebih motivasi
atau dorongan berperilaku yang tidak
sejalan harus diekspresikan secara bersamaan. Hal ini sejalan dengan defenisi yang diuraikan
oleh Plotnik (2005) bahwa konflik sebagai
perasaan yang dialami ketika individu harus memilih antara dua atau lebih
pilihan yang tidak sejalan.
Menurut Hugh Miall (2002) bahwa konflik adalah aspek
intrinsik dan tidak mungkin dihindarkan
dalam perubahan sosial serta sebuah ekspresi heteregonitas kepentingan, nilai,
dan keyakinan yang muncul sebagai formasi baru yang penting ditimbulkan oleh
perubahan sosial yang muncul bertentangan dengan hambatan yang diwariskan. Menurut Leopod Von Wiese
(1987) bahwa konflik adalah suatu proses sosial dimana orang perorangan atau
kelompok manusia berusaha untuk memenuhi apa yang menjadi tujuannya dengan
jalan menentang pihak lain disertai
dengan ancaman dan kekerasan.
Menurut Duane Ruth (1986) bahwa konflik adalah
kondisi yang terjadi ketika dua pihak atau lebih menganggap ada perbedaan
posisi yang tidak selaras, tidak cukup
sumber dan tindakan salah satu pihak menghalangi, atau mencampuri atau dalam beberapa hal membuat tujuan pihak lain
kurang berhasil. Menurut Taquiri (1977) bahwa konflik merupakan warisan
kehidupan sosial yang boleh berlaku
dalam berbagai keadaan akibat dari pada berbangkitnya keadaan
ketidaksetujuan, kontroversi dan
pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan. Menurut
Faules (1994) bahwa konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok
dengan kelompok lain karena beberapa
alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan
antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami.
Jenis-jenis Konflik
Secara garis besar berbagai konflik dalam masyarakat
dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bentuk konflik berikut ini:
a. Berdasarkan
sifatnya, dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Konflik
Destruktif, merupakan konflik yang muncul karena adanya perasaan tidak senang, rasa benci dan dendam
dari seseorang ataupun kelompok terhadap
pihak lain. Pada konflik ini terjadi bentrokan-bentrokan fisik yang
mengakibatkan hilangnya nyawa dan harta benda seperti konflik Poso, Ambon,
Kupang, Sambas, dan lain sebagainya.
2. Konflik
Konstruktif, merupakan konflik yang bersifat fungsional, konflik ini muncul
karena adanya perbedaan pendapat dari kelompok-kelompok dalam menghadapi suatu
permasalahan. Konflik ini akan menghasilkan
suatu konsensus dari berbagai pendapat tersebut dan menghasilkan
suatu perbaikan. Misalnya perbedaan
pendapat dalam sebuah organisasi.
b. Berdasarkan
Posisi Pelaku yang Berkonflik,
dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Konflik Vertikal, merupakan konflik
antar komponen masyarakat di dalam satu struktur yang memiliki hierarki.
Contohnya, konflik yang terjadi antara atasan dengan bawahan dalam sebuah
kantor.
2. Konflik Horizontal, merupakan
konflik yang terjadi antara individu atau kelompok yang memiliki kedudukan yang
relatif sama. Contohnya konflik yang terjadi antar organisasi massa.
3. Konflik Diagonal, merupakan konflik
yang terjadi karena adanya ketidakadilan alokasi sumber daya ke seluruh
organisasi sehingga menimbulkan pertentangan yang ekstrim. Contohnya konflik
yang terjadi di Aceh.
Sedangkan
menurut Soerjono Soekanto, konflik sosial terbagi menjadi lima bentuk antara
lain sebagai berikut:
1. Konflik atau pertentangan pribadi,
yaitu konflik yang terjadi antara dua individu atau lebih karena perbedaan
pandangan dan sebagainya.
2. Konflik atau pertentangan rasial,
yaitu konflik yang timbul akibat perbedaan-perbedaan ras.
3. Konflik atau pertentangan antara
kelas-kelas sosial, yaitu konflik yang terjadi disebabkan adanya perbedaan
kepentingan antar kelas sosial.
4. Konflik atau pertentangan politik,
yaitu konflik yang terjadi akibat adanya kepentingan atau tujuan politis
seseorang atau kelompok.
5. Konflik atau pertentangan yang
bersifat internasional, yaitu konflik yang terjadi karena perbedaan kepentingan
yang kemudian berpengaruh pada kedaulatan negara.
Sementara
itu, Ralf Dahrendorf mengatakan bahwa konflik dapat dibedakan atas empat macam,
yaitu sebagai berikut :
1. Konflik antara atau yang terjadi
dalam peranan sosial, atau biasa disebut dengan konflik peran. Konflik peran
adalah suatu keadaan di mana individu menghadapi harapan-harapan yang
berlawanan dari bermacam-macam peranan yang dimilikinya.
2. Konflik antara kelompok-kelompok
sosial.
3. Konflik antara kelompok-kelompok
yang terorganisir dan tidak terorganisir.
4. Konflik antara satuan nasional,
seperti antar partai politik, antar negara, atau organisasi internasional.
Menurut
Luthans (2005), konflik terdiri dari tiga jenis yang akan dijelaskan sebagai
berikut:
1. Konflik
Antar Pribadi (Interpersonal Conflict).
Konflik interpersonal muncul di antara dua individu. Konflik ini bisa terbentuk
di antara rekan kerja, teman, anggota keluarga, atau antara supervisor dan
karyawan-karyawan. Sebagai contoh, konflik bisa muncul ketika seseorang tidak
setuju dengan gaya hidup individu lainnya. Dalam contoh ini, tujuan dalam
memecahkan masalah konflik bukanlah pada mengubah pendapat atau filosofi antara
yang satu dengan yang lainnya mengenai gaya hidup siapa yang benar. Tujuan
sebenarnya adalah untuk memfokuskan pada perilaku bagaimana yang dipakai
seseorang yang akan memengaruhi tujuan-tujuan atau hidup individu lainnya
secara langsung.
2. Konflik
Individu-Kelompok (Individual-Group
Conflict). Konflik antar kelompok muncul ketika kebutuhan-kebutuhan,
tujuan-tujuan, dan harapan-harapan seorang individu berbeda dengan kelompoknya.
Sebagai contoh, seorang karyawan lebih tertarik dalam melakukan hubungan
pelayanan kustomer, namun bagian pemasaran lebih menginginkannya untuk bekerja
dalam penjualan produk. Akibatnya akan terjadi konflik antara individu dengan
pihak bagian pemasaran.
3. Konflik
Antar Kelompok (Group-Group Conflict).
Konflik intraorganisasi atau konflik antar kelompok muncul di antara dua atau
lebih kelompok. Sering kali konflik yang sering ditemui dalam perusahaan adalah
konflik antara tim dengan pihak manajemen. Tim secara rutin menghadapai konflik
dengan pihak manajemen yang oleh pihak manajemen diyakini sebagai sesuatu yang
memang seharusnya demikian. Contoh lainnya yaitu konflik yang muncul saat satu
departemen dengan departemen lainnya bersaing untuk sumber daya yang berkurang
seperti berkurangnya personil ataupun untuk mendapatkan kenaikan gaji.
Proses-proses Konflik
a. Tahap
I: Potensi Oposisi dan Ketidakcocokan
Kondisi
yang menciptakan terjadinya konflik meskipun kondisi tersebut tidak mengarah
langsung ke konflik. Kondisi ini antara lain disebabkan oleh: (1) Komunikasi,
komunikasi yang kurang baik dalam organisasi sehingga menimbulkan ketidaknyamanan
antar anggota organisasi, (2) Struktur, tuntutan pekerjaan menyebabkan ketidaknyamanan
antar anggota organisasi, (3) Variabel Pribadi, ketidaksukaan pribadi atas
individu lain.
b. Tahap II: Kognisi dan Personalisasi
Apabila pada tahap I muncul kondisi
yang negatif, maka pada tahap ini kondisi tersebut didefinisikan, sesuai persepsi
pihak yang berkonflik. Konflik yang dipersepsikan (kesadaran satu pihak atau lebih
atas adanya konflik yang menciptakan peluang terjadinya konflik) dan konflik
yang dirasakan (keterlibatan emosional saat konflik yang menciptakan kecemasan,
ketegangan, frustasi, atau kekerasan).
c. Tahap
III: Maksud
Keputusan untuk bertindak dengan
cara tertentu, seperti: (1) Persaingan, keinginan memuaskan kepentingan
seseorang, tidak mempedulikan dampak pada pihak lain dalam konflik tersebut,
(2) Kolaborasi, situasi yang di dalamnya pihak-pihak yang berkonflik sepenuhnya
saling memuaskan kepentingan semua pihak, (3) Penghindaran, keinginan menarik
diri dari konflik, (4) Akomodasi, kesediaan satu pihak dalam konflik untuk
memperlakukan kepentingan pesaing di atas kepentingannya sendiri, (5) Kompromi,
satu situasi yang di dalamnya masing-masing pihak yang berkonflik bersedia
mengorbankan sesuatu.
d. Tahap
IV: Perilaku
Pada tahap ini konflik tampak nyata,
mencakup pernyataan, tindakan dan reaksi yg dibuat pihak-pihak yang berkonflik.
e. Tahap
V: Hasil
Pada tahap ini konflik dapat
ditentukan apakah merupakan Konflik Fungsional atau Konflik Disfungsional
D.
Kasus
Mengenai Stres & Konflik
Kasus Mengenai Stres
Selasa,
15 Maret 2016 08:02 WIB, “Stres karena Kerja Sebabkan Banyak Karyawan
Kehilangan Waktu Tidur”
TRIBUNKALTIM.CO
- Menurut survei, dari 3.200 karyawan yang dilakukan oleh CareerBuilder,
setidaknya sekitar satu dari empat karyawan mengatakan, pikiran buruk tentang
pekerjaan terjadi sedikitnya sekali dalam seminggu, bahkan bisa lebih. Survei
lain yang dilakukan sebelumnya, yang melibatkan lebih dari 1.400 karyawan di
berbagai negara, bahkan menghasilkan angka yang lebih tinggi: tiga dari empat
karyawan kehilangan tidur karena masalah pekerjaan. Peneliti menjelaskan, itu sangat
mungkin terjadi karena pekerjaan kerap memberikan tekanan bagi karyawannya,
sehingga karyawan sering terjebak dalam kondisi sulit tidur karena pikiran atau
stres akan pekerjaan mereka. Kasus karyawan yang berhubungan dengan stres
melompat 28 persen selama tiga tahun belakangan, menurut data dari penyedia
program kesehatan karyawan Workplace Options, yang melihat data dari lebih dari
100.000 karyawan, dan memiliki kepentingan dalam membantu karyawan mengatasi
stres tersebut. "Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa stres kerja adalah
sumber utama stres bagi orang dewasa, khususnya di Amerika. Kasus tersebut
telah meningkat secara progresif selama beberapa dekade terakhir," menurut
peneliti dari The American Institute of Stress.
Solusi:
Stres
dalam pekerjaan dapat dicegah timbulnya dan dapat dihadapi. Seorang karyawan
dapat berusaha sendiri untuk mcngurangi level stresnya. Strategi yang bersifat
individual yang cukup efektif yaitu pengelolaan waktu, latihan fisik, dan
dukungan sosial. Dengan pengelolaan waktu yang baik maka seorang karyawan dapat
menyelesaikan tugas dengan baik, tanpa adanya tuntutan kerja yang tergesa-gesa.
Lalu, jika seorang karyawan merasa dirinya ada kenaikan ketegangan, para
karyawan tersebut seharusnya time out
terlebih dahulu. Cara time out ini
bisa bermacam-macam, seperti istirahat sejenak namun masih dalam ruangan kerja,
keluar ke ruang istirahat (jika disediakan oleh perusahaan), pergi sebentar ke
kamar kecil untuk membasuh muka dan sebagainya. Selain itu, dengan latihan
fisik dapat meningkatkan kondisi tubuh agar lebih prima sehingga mampu
menghadapi tuntutan tugas yang berat Untuk mengurangi stres kerja, dibutuhkan
pula dukungan sosial terutama melalui orang yang terdekat, seperti keluarga,
teman sekerja, pemimpin, dan lain-lain. Agar diperoleh dukungan maksimal,
dibutuhkan komunikasi yang baik pada semua pihak. Karyawan dapat mengajak
berbicara orang lain tentang masalah yang dihadapi, atau setidaknya ada tempat
mengadu atas keluh kesahnya.
Kasus Mengenai Konflik
Kamis,
25 Februari 2016 - 07:03 WIB, Konflik SARA Paling Mengerikan Ini Pernah Terjadi
di Indonesia: Konflik Agama di Ambon
Konflik
berbau agama paling tragis meletup pada tahun 1999 silam. Konflik dan
pertikaian yang melanda masyarakat Ambon-Lease sejak Januari 1999, telah
berkembang menjadi aksi kekerasan brutal yang merenggut ribuan jiwa dan
menghancurkan semua tatanan kehidupan bermasyarakat. Konflik tersebut kemudian
meluas dan menjadi kerusuhan hebat antara umat Islam dan Kristen yang berujung
pada banyaknya orang meregang nyawa. Kedua kubu berbeda agama ini saling serang
dan bakar membakar bangunan serta sarana ibadah. Saat itu, ABRI dianggap gagal
menangani konflik dan merebak isu bahwa situasi itu sengaja dibiarkan berlanjut
untuk mengalihkan isu-isu besar lainnya. Kerusuhan yang merusak tatanan
kerukunan antar umat beragama di Ambon itu berlangsung cukup lama sehingga
menjadi isu sensitif hingga saat ini.
Solusi:
SARA
merupakan salah satu hal sensitif dalam masyarakat Indonesia, karena bersangkutan
dengan adanya keanekaragaman bangsa yang menimbulkan perbedaan pandangan maupun
pendapat baik dalam hal keyakinan, adat istiadat, budaya dan lainnya. Masalah
SARA dapat menyebabkan perpecahan yang merusak bangsa dan negara, seperti
timbulnya peperangan, pembunuhan, pengeboman, dan lain-lain. Sebagai bangsa
yang terdiri atas beragam suku, agama, dan golongan, Indonesia memang rawan
terhadap konflik berlatar belakang SARA. Oleh sebab itu, perseteruan antar
sesama orang Indonesia harus dihindari karena dapat menimbulkan dampak yang
merusak. Cara untuk menghindari perseteruan adalah dengan memperkuat sikap
saling mengayomi, saling menghormati perbedaan yang ada, serta meningkatkan
toleransi beragama di kalangan masyarakat. Selain itu, sikap tegas dari aparat
keamanan dengan memburu pelaku kerusuhan, menjatuhkan sanksi tegas kepada orang-orang
yang memprovokasi warga, perlu didukung untuk menimbulkan efek jera.
II.
KOMUNIKASI
DALAM MANAJEMEN
A.
Pengertian
Komunikasi
Kata atau
istilah komunikasi (dari bahasa Inggris “communication”
), secara epistemologis atau menurut asal katanya adalah dari bahasa latin communicatus, dan perkataan ini
bersumber pada kata communis. Kata communis memiliki makna “berbagi” atau
“menjadi milik bersama” yaitu usaha yang memiliki tujuan untuk kebersamaan atau
kesamaan makna. Komunikasi secara terminilogis merujuk pada adanya proses penyampaian suatu pernyataan
oleh seseorang kepada orang lain. Jadi, yang terlibat dalam komunikasi ini
adalah manusia.
Menurut
Widjaja (2008) komunikasi adalah hubungan
kontak antar dan
antara manusia baik
individu maupun kelompok. Dalam kehidupan
sehari-hari disadari atau
tidak komunikasi adalah bagian
dari kehidupan manusia
itu sendiri. Manusia sejak dilahirkan
sudah berkomunikasi dengan lingkungannya. Menurut Ruslan (2008) komunikasi
merupakan alat yang penting dalam fungsi public
relations. Publik menaungi dan
menghargai suatu kinerja
yang baik dalam
kegiatan komunikasi secara efektif
dan sekaligus kinerja
yang baik tersebut
untuk menarik perhatian publik
serta tujuan penting yang lainnya dari fungsi public relations.
Pawito dan
Sardjono (1994) mencoba mendefinisikan komunikasi sebagai suatu proses dengan
mana suatu pesan dipindahkan atau dioperkan (lewat suatu saluran) dari suatu
sumber kepada penerima dengan maksud mengubah perilaku, perubahan dalam
pengetahuan, sikap dan atau perilaku overt
lainnya. Sekurang-kurangnya didapati empat unsur utama dalam model komunikasi
yaitu sumber (the source), pesan (the message), saluran (the channel) dan penerima (the receiver).
Devito
mengemukakan komunikasi sebagai transaksi. Transaksi yang dimaksudkannya bahwa
komunikasi merupakan suatu proses dimana komponen-komponennya saling terkait
dan bahwa para komunikatornya beraksi dan bereaksi sebagai suatu kesatuan dan
keseluruhan. Dalam setiap proses transaksi, setiap elemen berkaitan secara
integral dengan elemen lain (Suprapto, 2006).
Sebagai proses, kata Smith,
komunikasi sekaligus bersifat khas dan umum, sempit dan luas dalam ruang
lingkupnya. Dirinya menguraikan komunikasi antarmanusia merupakan suatu rangkaian proses yang halus dan
sederhana. Selalu dipenuhi dengan berbagai unsur-sinyal, sandi, arti tak peduli bagaimana sederhananya sebuah pesan
atau kegiatan itu. Komunikasi antarmanusia juga merupakan rangkaian proses yang
beraneka ragam. Ia dapat menggunakan beratus-ratus alat yang berbeda, baik kata
maupun isyarat ataupun kartu berlubang baik berupa percakapan pribadi maupun
melalui media massa dengan audience
di seluruh dunia…ketika manusia berinteraksi saat itulah mereka
berkomunikasi…saat orang mengawasi orang lain, mereka melakukan melalui
komunikasi” (Blake dan Haroldsen, 2003).
B.
Proses
Komunikasi
Dalam
proses komunikasi terdapat komponen-komponen dasar sebagai berikut: pertama pengirim
pesan (sender). Pengirim pesan adalah
orang yang mempunyai ide untuk disampaikan kepada seseorang dengan harapan
dapat dipahami oleh orang yang menerima pesan sesuai dengan yang dimaksudkannya.
Kedua, pesan (massage). Pesan adalah
informasi yang akan disampaikan atau
diekspresikan oleh pengirim pesan. Pesan dapat verbal atau non verbal dan pesan
akan efektif bila diorganisir secara baik dan jelas. Materi pesan dapat berupa:
(1) informasi, (2) ajakan, (3) rencana kerja, (4) pertanyaan dan sebagainya. Ketiga,
simbol atau isyarat. Pada tahap ini pengirim pesan membuat kode atau simbol
sehingga pesannya dapat dipahami oleh
orang lain. Biasanya seorang guru menyampaikan pesan dalam bentuk kata-kata,
gerakan anggota badan, (tangan, kepala, mata dan bagian muka lainnya).
Keempat
adalah media atau penghubung adalah alat untuk menyampaikan pesan seperti: TV,
radio, surat kabar, papan pengumuman, telepon
dan lainnya. Pemilihan media ini disesuaikan dengan isi pesan yang akan disampaikan, jumlah penerima pesan,
situasi dan sebagainya. Kelima adalah mengartikan kode atau isyarat. Setelah pesan diterima melalui indera (telinga, mata maupun indera
lainnya), maka penerima pesan harus
dapat mengartikan simbol atau kode dari
pesan tersebut, sehingga dapat dipahami. Keenam adalah penerima pesan. Penerima
pesan adalah orang yang dapat memahami pesan
dari pengirim meskipun dalam bentuk
kode atau isyarat tanpa mengurangi arti pesan yang dimaksud oleh pengirim.
Ketujuh
adalah balikan (feedback). Balikan
adalah isyarat atau tanggapan yang berisi
kesan dari penerima pesan dalam bentuk verbal maupun non verbal. Tanpa
balikan seorang pengirim pesan tidak akan tahu dampak pesannya terhadap
penerima pesan. Hal ini penting bagi
guru atau pengirim pesan untuk mengetahui apakah pesan sudah diterima dengan pemahaman
yang benar dan tepat. Delapan adalah
gangguan. Gangguan bukan merupakan bagian dari proses komunikasi akan tetapi mempunyai pengaruh dalam proses komunikasi, karena pada setiap situasi
hampir selalu ada gangguan. Gangguan adalah
hal yang merintangi atau
menghambat komunikasi sehingga penerima
salah menafsirkan pesan yang
diterimanya.
Adapun
proses komunikasi dapat dilihat pada
skema dibawah ini:
Berdasarkan
paradigma Laswell, Effendy (1994) membedakan proses komunikasi menjadi dua tahap, yaitu:
a. Proses komunikasi secara primer
Proses
komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan
seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambing sebagai media. Lambing
sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah pesan verbal (bahasa), dan
pesan nonverbal.
Komunikasi
berlangsung apabila terjadi kesamaan makna dalam pesan yang diterima oleh
komunikan. Prosesnya sebagai berikut, pertama komunikator menyandi (encode) pesan yang akan disampaikan
kepada komunikan. Ini berarti komunikator memformulasikan pikiran atau
perasaannya ke dalam lambing (bahasa) yang diperkirakan akan dimengerti oleh
komunikan. Kemudian, komunikan menerjemahkan (decode) pesan dari komunikator. Ini berarti komunikan menafsirkan lambing
yang mengandung perasaan dan pikiran komunikator.
Menurut
Wilbur Schramm (dalam Effendy) menyatakan bahwa komunikasi akan berhasil
apabila pesan yang disampaikan oleh komunikator cocok dengan kerangka acuan (frame of reference), yakni perpaduan
pengalaman dan pengertian yang diperoleh komunikan. Kemudian Schramm juga
menambahkan, bahwa komunikasi akan berjalan lancara apabila bidang pengalaman
komunikator sama dengan dengan bidang pengalaman komunikan. Sebagai contoh, si
A seorang mahasiswa ingin berbincang-bincang mengenai perkembangan valuta asing
dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi. Bagi si A tentunya akan sangat
mudah dan lancaraapabila pembicaraan mengenai hal tersebut dilakukan dengan si
B yang juga sama-sama mahsiswa. Seandainya si A membicarakan hal tersebut
dengan si C yang yang seorang pemuda desa tamatan SD tentunya proseskomunikasi
tidak akan berjalan lancar.
b.
Proses
komunikasi secara sekunder
Proses komunikasi secara sekunder
adalah prosese penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan dengan
menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambing
sebagai media pertama.
Seorang komunikator menggunakan
media ke dalam dua komunikasi karena komunikan sebagai sarana berada di tempat
yang relatif jauh atau jumlahnya banyak.
Surat, telepon fax, radiao, majalah, dll merupakan media yang sering digunakan
dalan komunikasi.
C.
Hambatan
Komunikasi
Segala
sesuatu yang menghalangi kelancaran komunikasi disebut sebagai gangguan (noise). Kata noise dipinjam dari istilah ilmu kelistrikan yang mengartikan noise sebagai keadaan terentu dalam
sistem kelistrikan yang mengakibatkan tidak lancarnya atau berkurangnya
ketepatan peraturan. Pencetakan huruf yang saling bertindihan dalam suatu surat
kabar atau majalah akan menjadi gangguan bagi pembacanya. Kata-kata yang diucapkan
secara tidak tepat oleh seorang penyiar akan mengganggu komunikasi dengan
pendengarnya. Apabila kata-kata atau kalimat yang disampaikan tidak atau bukan
merupakan kata-kata yang secara luas dipahami oleh pendengar. Penggunaan kata-kata
asing yang sulit dimengerti tentu merupakan bagian dari noise atau gangguan yang harus dihindari oleh stasiun radio.
Disamping
itu, ada pula gangguan yang berasal dari saluran komunikasi tersebut, misalnya
interferensi yang terjadi pada gelombang radio yang mengakibatkan tidak
jelasnya isi siaran diterima oleh pendengar. Namun demikian, pada hakikatnya
kebanyakan dari ganguan yang timbul, bukan berasal dari sumber atau salurannya,
tetapi dari audience (penerima).
Manusia sebagai komunikan memiliki kecendrungan untuk acuh tak acuh, meremehkan
sesuatu, salah menafsirkan, atau tidak mampu mengingat dengan jelas apa yang diterimanya
dari komunikator. Setidak-tidaknya ada tiga faktor psikologis yang mendasari
hal itu (Suprapto, 2009), yaitu:
1. Selective
attention. Orang
biasanya cenderung untuk mengekspos dirinya hanya kepada hal-hal (komunikasi)
yang dikehendakinya. Misalnya, seseorang tidak berminat membeli mobil, jelas
dia tidak akan berminat membaca iklan jual beli mobil.
2. Selective
perception.
Suatu kali, seseorang berhadapan dengan suatu peristiwa komunikasi, maka ia
cenderung menafsirkan isi komunikasi sesuai dengan prakonsepsi yang sudah
dimiliki sebelumnya. Hal ini erat kaitannya dengan kecendrungan berpikir secara
stereotip.
3. Selective
retention. Meskipun
seseorang memahami suatu komunikasi, tetapi orang berkecenderungan hanya
mengingat apa yang mereka ingin untuk diingat. Misalnya, setelah membaca suatu
artikel berimbang mengenai komunisme, seorang mahasiswa yang anti komunis hanya
akan mengingat hal-hal jelek mengenai komunisme. Sebaliknya mahasiswa yang
prokomunis cenderung untuk mengingat kelebihan-kelebihan sistem komunisme yang
diungkapkan oleh artikel tersebut.
Sedangkan menurut
Ruslan (2008) hambatan dalam komunikasi antara lain sebagai berikut:
1. Hambatan
Dalam Proses Penyampaian (Sender Barries)
Hambatan di sini bisa datang dari
pihak komunikatornya yang mendapat kesulitandalam menyampaikan pesan–pesannya,
tidak menguasai materi pesan dan belum memiliki kemampuan sebagai komunikator
yang handal. Hambatan ini bisa jugaberasal dari penerima pesan tersebut (receiver barrier) karena sulitnya komunikan
dalam memahami pesan itu dengan baik. Hal ini dapat disebabkan oleh rendahnya tingkat
penguasaan bahasa, pendidikan, intelektual dan sebagainya yang terdapat dalam
diri komunikan. Kegagalan komunikasi dapat pula terjadi dikarenakan
faktor-faktor: feedbacknya bahasa
tidak tercapai, medium barrier (media
atau alat yang dipergunaan kurang tepat) dan decoding barrier (hambatan untuk memahami pesan secara tepat).
2.
Hambatan
secara Fisik (Phsysical Barries)
Sarana fisik dapat menghambat
komunikasi yang efektif, misalnya pendengaran kurang tajam dan gangguan pada
sistem pengeras suara (sound system)
yang sering terjadi dalam suatu ruangan kuliah/seminar/pertemuan. Hal ini dapat
membuat pesan-pesan itu tidak efektif sampai dengan tepat kepada komunikan.
3.
Hambatan
Semantik (Semantik Pers)
Hambatan segi semantik (bahasa dan
arti perkataan), yaitu adanya perbedaan pengertian dan pemahaman antara pemberi
pesan dan penerima tentang satu bahasa atau lambang. Mungkin saja yang
disampaikan terlalu teknis dan formal, sehingga menyulitkan pihak komunikan
yang tingkat pengetahuan dan pemahaman bahasa teknis komunikator yang kurang.
4. Hambatan
Sosial (Sychossial Noies)
Hambatan adanya perbedaan yang cukup
lebar dalam aspek kebudayaan, adat stiadat, kebiasaan, persepsi, dan nilai-nilai
yang dianut sehingga kecenderungan, kebutuhan serta harapan-harapan kedua belah
pihak yang berkomunikasi juga berbeda.
D.
Pengertian
Komunikasi Interpersonal Efektif dalam Organisasi
Komunikasi
interpersonal merupakan bagian dari ilmu komunikasi adalah hal yang sangat
penting dalam suatu organisasi untuk kelancaran kegiatan yang menjadi tujuan
suatu organisasi. Ada beberapa pengertian tentang komunikasi interpersonal yang
dikemukakan oleh para ahli, diantaranya:
Pace (1979) mengemukakan bahwa komunikasi antarpribadi
atau communication interpersonal
merupakan proses komunikasi yang berlangsung antara dua orang atau lebih secara
tatap muka dimana pengirim dapat menyampaikan pesan secara langsung dan penerima
pesan dapat menerima dan menanggapi secara langsung. Komunikasi interpersonal
merupakan komunikasi yang pesannya dikemas dalam bentuk verbal atau nonverbal,
seperti komunikasi pada umumnya komunikasi interpersonal selalu mencakup dua
unsur pokok yaitu isi pesan dan bagaimana isi pesan dikatakan atau dilakukan
secara verbal atau nonverbal. Dua unsur tersebut sebaiknya diperhatikan dan dilakukan
berdasarkan pertimbangan situasi, kondisi, dan keadaan penerima pesan.
Menurut Muhammad (2009) mendefenisikan komunikasi
interpersonal adalah proses pertukaran informasi di antara seseorang dengan
paling kurang seorang lainnya atau biasanya diantara dua orang yang dapat
langsung diketahui balikannya. Dengan bertambahnya orang yang terlibat dalam
komunikasi, menjadi bertambahlah persepsi orang dalam kejadian komunikasi
sehingga bertambah komplekslah komunikasi tersebut. Komunikasi interpersonal
adalah membentuk hubungan dengan orang lain. Sedangkan menurut Cangara (2006) komunikasi
interpersonal atau komunikasi antarpribadi ialah proses komunikasi yang
berlangsung antara dua orang atau lebih secara tatap muka.
Bungin (2008) menjelaskan bahwa komunikasi
interpersonal adalah komunikasi antar-perorangan yang bersifat pribadi baik
yang terjadi secara langsung (tanpa medium) maupun tidak langsung (melalui
medium). Contohnya kegiatan percakapan tatap muka, percakapan melalui telepon,
surat menyurat pribadi. Fokus pengamatannya adalah bentuk-bentuk dan sifat
hubungan (relationship), percakapan (discourse), interaksi dan karakteristik
komunikator.
Sementara itu, menurut Hardjana (2003) komunikasi
interpersonal adalah interaksi tatap muka antar dua atau beberapa orang, dimana
pengirim dapat menyampaikan pesan secara langsung, dan penerima pesan dapat
menerima dan menanggapi secara langsung pula. Menurut Mulyana (2000) komunikasi
interpersonal adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang
memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung,
baik secara verbal atau nonverbal. Komunikasi interpersonal ini adalah komunikasi
yang hanya dua orang, seperti suami istri, dua sejawat, dua sahabat dekat, guru-murid
dan sebagainya
E.
Model
Pengolahan Informasi dalam Komunikasi
Model komunikasi yang paling sederhana adalah adanya pengirim, berita
(pesan) dan penerima seperti gambar berikut ini : Model ini menunjukkan 3 unsur
esensi komunikasi. Bila salah satu unsur hilang, komunikasi tidak dapat
berlangsung. Sebagai contoh seorang dapat mengirimkan pesan, tetapi bila tidak
ada yang menerima atau yang mendengar, komunikasi tidak akan terjadi.
Model Pengolahan Informasi pada dasarnya menitikberatkan
dorongan-dorongan internal (datang dari dalam diri) manusia untuk memahami
dunia dengan cara menggali dan mengorganisasikan data, merasakan adanya masalah
dan mengupayakan jalan pemecahannya, serta mengembangkan bahasa untuk
mengungkapkannya. Proses informasi adalah proses menerima, menyimpan dan
mengungkap kembali informasi. Dalam proses pembelajaran, proses menerima
informasi terjadi pada saat siswa menerima pelajaran.
Proses menyimpan informasi terjadi pada saat siswa harus menghafal,
memahami, dan mencerna pelajaran. Sedangkan proses mengungkap kembali informasi
terjadi pada saat siswa menempuh ujian atau pada saat siswa harus menerapkan
pengetahuan yang telah dimilikinya untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam
kehidupan sehari-hari.
Selain itu perlu dikemukakan bahwa informasi masuk ke dalam kesadaran
manusia melalui pancaindera, yaitu indera pendengaran, penglihaan, penciuman,
perabaan, dan pengecapan. Informasi masuk ke kesadaran manusia paling banyak
melalui indera pendengaran dan penglihatan. Informasi masuk ke kesadaran
manusia paling banyak melalui indera pendengaran dan penglihatan. Berdasarkan
alas an tersebut, maka media yang banyak digunakan adalah media audio, media
visual, dan media audiovisual (gabungan media audio dan visual).
Belakangan berkembang konsep multimedia, yaitu penggunaan secara
serentak lebih daripada satu media dalam proses komunikasi, informasi dan
pembelajaran. Konsep multimedia diasarkan atas pertimbangan bahwa penggunaan
lebih dari pada satu media yang menyentuh banyak indera akan membuat proses
komunikasi termasuk proses pembelajaran lebih efektif.
Teori
pemrosesan informasi/kognitif dipelopori oleh Robert Gagne (1985). Asumsinya
adalah pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan.
Perkembangan merupakan hasil komulatif dari pembelajaran. Dalam pembelajaran
terjadi proses penerimaan informasi yang kemudian diolah sehingga menghasilkan
output dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi interaksi
antara kondisi internal (keadaan individu, proses kognitif) dan kondisi-kondisi
eksternal (rangsangan dari lingkungan). Interaksi antar keduanya akan
menghasilkan hasil belajar. Pembelajaran merupakan keluaran dari pemrosesan
informasi yang berupa kecakapan manusia (human capitalities) yang terdiri dari
Model Pengolahan informasi berorientasi pada: proses kognitif, pemahaman dunia,
pemecahan masalah, dan berpikir induktif. Model pengolahan informasi dibawah
ini ada 4 yaitu:
1. Rational. Model pengolahan informasi dimana
orang- orang benar-benar memproses semua informasi yang tersedia dalam
mencari solusi yang terbaik atau output maksimum. Model ini memiliki nilai
perspektif yang kuat, tetapi akurasi deskriptif lemah.
2. Limited
Capacity. Model
pengolahan informasi yang melemahkan kondisi model rasional dan mengasumsikan
bahwa orang mempermudah pengolahan informasi dalam mencari solusi (tidak
diperlukan optimal).
3. Expert. Model pengolahan informasi
Menempatkan penekanan pada penggunaan pengetahuan mendalam yang sudah
dikembangkan oleh ahli yang melengkapi pengolahan informasi yang telah
disederhanakan. Sang ahli memiliki basis pengetahuan yang jauh lebih besar,
yang diperoleh melalui pengalaman.
4. Cybernetic. Model pengolahan informasi dimana
pengolahan informasi dapat diubah dengan umpan balik.
F.
Model
Interaktif Manajemen dalam Komunikasi
Model pemrosesan informasi ditekankan pada
pengambilan, penguasaan, dan pemrosesan informasi. Model ini lebih memfokuskan
pada fungsi kognitif peserta didik. Model ini didasari oleh teori belajar
kognitif (Piaget) dan berorientasi pada kemampuan peserta didik memproses
informasi yang dapat memperbaiki kemampuannya. Pemrosesan Informasi merujuk
pada cara mengumpulkan/menerima stimuli dari lingkungan, mengorganisasi data,
memecahkan masalah, menemukan konsep, dan menggunakan simbol verbal dan visual.
1. Confidence.
Dalam manajemen timbulnya suatu interaksi karena adanya rasa nyaman. Kenyamanan
tersebut dapat membuat suatu organisasi bertahan lama dan menimbulkan suatu
kepercayaan dan pengertian.
2. Immediacy.
Ini adalah model organisasi yang membuat suatu organisasi tersebut menjadi
segar dan tidak membosankan.
3. Interaction Management.
Adanya berbagai interaksi dalam manajemen seperti mendengarkan dan juga
menjelaskan kepada berbagai pihak yang bersangkutan.
4. Expressiveness.
Mengembangkan suatu komitmen dalam suatu organisasi dengan berbagai macam
ekspresi perilaku.
5. Other-orientation.
Adanya komunikasi antara komunikasi dengan satu pihak ke pihak lain, sebagai
tukar menukar informasi. Dalam hal ini suatu manajemen organisasi berorientasi
pada pegawai.
DAFTAR PUSTAKA
Fausiah,
F & Widury, J. (2007). Psikologi Abnormal. Jakarta: UI-Press.
Kusnadi.
(2002). Masalah Kerja Sama, Konflik dan Kinerja. Malang: Taroda.
Lawang, R.
(1994). Buku Materi Pokok
Pengantar Sosiologi. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Riza, R &
Roesmidi, H. (2006). Pemberdayaan
Masyarakat. Sumedang: ALQAPRINT JATINANGOR.
Soekanto,
S. (1992). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
Sriati,
A. (2008). Tinjauan Tentang Stres. Jatinagor: Universitas Padjadjaran.
Zeitlin, I.M.
(1998). Memahami Kembali Sosiologi. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
Langganan:
Postingan (Atom)